Sepulangnya ke Jakarta dari Singapore di pertengahan bulan Januari lalu, saya memulai kembali rutinitas untuk berolahraga lari. Awalnya untuk persiapan hiking, namun karena masih dalam masa Q1 maka saya urung niat jika harus mendaki gunung karena takutnya hujan dan badai. Tetapi untuk berjaga-jaga apabila Ari mengajak untuk mendaki, maka saya tetap harus berolah raga agar fisik tetap siaga.
Ketika sedang membersihkan kamera yang sudah mulai berdebu dengan mengikuti panduan di salah satu akun Instagram tidak sengaja saya melihat tagar #sempu. Iseng saya menjelajah pada tagar tersebut ternyata Sempu adalah sebuah pulau di selatan kota Malang yang merupakan cagar alam bagi hewan langka. Di tengah pulau Sempu terdapat sebuah sendang air laut yang sangat cantik.
Untuk mengakses pulau Sempu harus dengan menyewa kapal nelayan lokal dan yang terpenting mendapat ijin dari Perhutani. Melihat pemandangan pantai selatan Malang yang cantik dan perjalanan yang mendebarkan ketika menjelajah pulau membuat saya bersemangat untuk mengunjunginya.
Setelah cek di aplikasi travel online, tiket kereta menuju Malang dengan eksekutif Kertanegara ternyata masih masuk range dan harganya lebih masuk akal daripada menggunakan maskapai penerbangan ke Surabaya lalu oper dengan transportasi darat untuk ke Malang. Awalnya saya mengajak Firman terlebih dahulu karena biasanya Ari kurang berminat jika bukan mendaki gunung.
Tapi jika anggotanya ramai maka biasanya akan dia akan ikut berminat. Singkat cerita Firman pun berminat karena memang dia ingin sekali ke pantai dan Ari turut berminat untuk bergabung.
Sebagai check poin awal kami bertemu di Stasiun Gambir dan mengambil cuti setengah hari menjelang weekend agar dapat mengejar kereta yang berangkat pukul 15.00. Sebelum berangkat kami makan malam terlebih dahulu dan mencari cemilan untuk selama di perjalanan. Perjalanan Jakarta — Malang ditempuh dalam waktu kurang lebih 12 jam.
Sesampainya di Malang kami lanjut mencari kuliner di Kedai Hok Lay sesuai rekomendasi Ari. Cwie Mienya sangat direkomendasikan dan halal. Tidak lupa kami juga mencoba nasi rawon dan pecel khas Jawa Timur di daerah Batu tidak lupa dengan segelas STMJ.
Awal mula dari “Buyar Army” adalah ketika kami sedang menanyakan alamat toko peralatan outdoor di Malang kepada seorang tukang parkir. Tukang parkir tersebut mengatakan bahwa toko peralatan tersebut sudah BUYAR, sudah jadi game online. Kami yang mendengar kata buyar tersebut entah kenapa justru tertawa terbahak-bahak.
Seusai acara kuliner dan membersihkan diri kami mengambil mobil rental yang dikendarai oleh Ari. Kami juga menyempatkan diri untuk membeli perbekalan serta perlengkapan untuk tracking. Kira-kira 3 jam perjalanan dari kota Malang untuk dapat sampai di pantai Sendang Biru. Sesampainya di pantai kami segera ke pos jaga Perhutani untuk lapor kepada ranger setempat dan membayar retribusi sebesar Rp. 50.000,- per orang.
Retribusi tersebut sudah termasuk sepatu karet untuk tracking. Kami juga masih harus merogoh kocek sebesar Rp. 150.000,- untuk seorang porter sekaligus pemandu kami selama tracking.
Kenapa wajib menggunakan pemandu? Demi keselamatan kami selama tracking tentunya, karena pulau Sempu sebetulnya bukan obyek wisata namun penangkaran hewan liar. Salah satunya adalah beberapa jenis kelompok macan yang merupakan habitat asli di pulau ini. Sempu memiliki jalur tracking yang tampak jelas sehingga berpotensi pengunjungnya dapat tersasar. Itulah alasannya.
Untuk kapal nelayan kami harus menyewa sebesar Rp. 150.000,- untuk pulang pergi, nelayannya pula merangkap jabatan sebagai pemandu kami. Tepat pukul 14.00 tracking di pulau Sempu resmi dimulai dengan mengendarai kapal nelayan. Air lautnya sangat bening dan segar meskipun cuaca saat itu terasa terik, menggoda untuk berenang. Namun tidak disarankan berenang di pantai ini karena ombaknya cukup kuat karena berada tepat di bibir Samudera Hindia dan penuh dengan karang yang tajam.
Dari pantai menuju pulau ini ditempuh dalam waktu yang relatif cepat dan tidak terlalu jauh sebetulnya. Untuk berlabuh di pulau ini nelayan kami harus mencari tempat yang aman agar kapal tidak hanyut terbawa oleh air pasang.
Di sekitar pulau ini tampak pulau-pulau kecil dan batuan karang yang tampak menjulang sehingga mirip dengan pantai yang ada di Thailand.
Selepas kapal kami berlabuh di pesisir Sempu, kami memulai tracking dengan menembus hutan. Jalur di hutan berupa jalur karang karena di masa purbakala pulau ini adalah bagian dari laut selatan yang terendam. Tanahnya pun sangat licin sehingga sebaiknya menggunakan sepatu karet yang telah dipinjamkan oleh Perhutani.
Pulau ini tampak sedikit kotor, sangat disayangkan ada pengunjung yang membuang sampah sembarangan. Terlihat dari bungkus bumbu mie instan, botol aqua, serta puntung rokok yang berserakan di beberapa tempat. Semoga pengunjung sadar bahwa pulau ini adalah rumah bagi para satwa yang seharusnya dilindungi dan dijaga kebersihannya. Maka dari itu pula tas sampah merupakan salah satu perlengkapan yang wajib dibawa oleh kami.
Vegetasi hutan cukup rapat dan harus berhati-hati karena banyak tumbuhan belukar yang berduri tajam. Kondisi iklim di hutan sangat lembab dan berair karena dikelilingi oleh laut dan samudera, bahkan sayup-sayup di tengah hutan masih terdengar suara deburan ombak dari kejauhan.
Ada yang menarik perhatian saya yaitu banyak fauna liar di sekitar jalur tracking, seperti burung hutan dan monyet liar yang bergelantungan. Sayangnya kamera sudah saya masukkan ke dalam tas gunung karena takut terkena air ketika di kapal. Suara jangkrik dan serangga pun menjadi playlist selama menyusuri jalur.
Selepas jalur hutan untuk menuju sendang yang berada di tengah pulau kami harus melewati bibir tebing karang dengan merayap ke dindingnya. Saran saya jangan sekali-kali menaruh handphone di celana karena takutnya tergores oleh dinding karang yang lumayan tajam dan kasar. Jalur ini cukup berbahaya karena hanya dibatasi oleh tali dan karet ban.
Sebagai informasi harap membawa persediaan air minum yang cukup agar tidak dehidrasi dan dikarenakan di tempat ini sulit untuk mendapatkan mata air yang aman dikonsumsi
Tidak terasa sekitar 1.5 jam kami berjalan akhirnya sampai di tengah pulau. Alam di Sempu luar biasa cantiknya dan jujur saya belum pernah melihat pemandangan seperti di Sempu. Pasir di sekitar sendang berwarna putih dan halus, aroma air garam bercampur dengan air tawar membuat air di sendang ini masih dapat diminum.
Menurut nelayan yang menjadi pemandu kami ketika malam maka hewan-hewan liar di Sempu akan mencari minum di tempat ini. Namun diminta untuk tidak perlu khawatir karena hewan-hewan tersebut cenderung menghindari manusia, biasanya mereka mengambil air dari sisi hutan.
Di tengah Sempu ini keadaannya sangat sepi, kami hanya bertemu beberapa pengunjung yang juga ditemani oleh pemandu mereka. Saya sendiri sempat berbincang-bincang dengan pengunjung lain yang berasal dari Surabaya, dia bersama teman-temannya datang ketika subuh hanya untuk berenang di tempat ini dan sore langsung pulang kembali ke pos Perhutani.
Kami pun juga sudah berencana ingin segera berenang setelah selesai mendirikan tenda. Tidak lupa kami juga berswafoto ria terlebih dahulu sembari explore di sekitar tempat kami mendirikan tenda.
Dekat di mana tempat kami mendirikan tenda terdapat bukit karang yang dapat didaki. Namun yang perlu diperhatikan adalah harus berhati-hati agar tidak terpeleset. Dari atas bukit tersebut saya dapat memandangi pemandangan dengan leluasa hingga puas. Dari bukit ini pula kami dapat melihat bentang luas samudera Hindia yang tampak megah.
Nelayan yang kami sewa pun juga bercerita apabila membawa alat pancing maka dapat memancing ikan laut dari atas tebing di pulau ini.
Sekilas saya jadi teringat para nelayan di Wonosari juga melakukan hal yang sama, apabila tidak melaut karena cuaca yang tidak memungkinkan maka akan memancing dari atas tebing
Setelah puas eksplore sekitar dan berenang hingga hampir maghrib. Kami bergegas membersihkan diri agar tidak terserang penyakit karena kedinginan. Setelah berenang kami baru ingat bahwa di tempat ini air sendang adalah campuran dari air laut. Sehingga badan kami lengket dan menjadi sedikit amis.
Untungnya kami sudah menyisakan sekitar 2 botol air mineral untuk cuci bilas ala kadarnya. Sayang memang sebetulnya, namun daripada tidur kami tidak pulas karena merasa risih.
Menjelang malam kami mulai membuka bekal dan memasak air minum untuk menyeduh teh panas. Awalnya kami ingin memasak makanan namun ternyata perut masih terasa kenyang karena kuliner. Alhasil kami hanya makan cemilan dan roti saja sebagai makan malam. Karena saya juga malas untuk mencuci alat makan, akhirnya memilih membuat mie instan “remas” seperti yang sering saya lakukan di masa kecil.
Sempu menjadi pengalaman pertama saya tinggal di tengah hutan yang merupakan alam liar. Selain di tengah hutan, kami juga sebetulnya berada di pulau yang terisolir di antara lautan. Ada rasa waspada namun yang terlebih adalah muncul rasa bersyukur mendapatkan pengalaman seperti ini.
Sembari menunggu rasa kantuk, sambil mendengarkan alunan musik dari Spotify yang telah saya simpan secara offline karena ketiadaan sinyal di Sempu. Akhirnya saya pun terlelap. Meski di tengah malam sempat kaget terdengar suara berisik.
Ternyata ada rombongan warga dari luar kota yang memilih berlibur ke tempat ini. Sebetulnya saya sangat terganggu dengan para warga dari luar kota tersebut. Selain karena gaduh, pastinya juga berpotensi membuat para hewan di penangkaran ini stress. Dapat dikatakan bahwa Sempu tidak cocok sebagai tempat berlibur bagi anak di bawah umur, beberapa warga tersebut tega membawa balita.
Keesokan harinya kami bangun sekitar pukul 07.00 pagi, saya sendiri bangun karena kaget ada seekor monyet yang sedang berusaha membuka tenda. Memang sebaiknya berhati-hati terhadap monyet di pulau Sempu. Hewan-hewan tersebut suka mencari makanan dan minuman milik para pengunjung. Maka dari itu dihimbau untuk menutup rapat tas dan menutupnya dengan mantel.
Sebaiknya pula tidak memberi mereka makan karena akan membuat hewan-hewan tersebut menjadi tergantung kepada para manusia
Tidak lama setelah bangun, kami memutuskan tidak sarapan di Sempu dan memilih untuk segera packing. Kebetulan di hari itu juga kami harus sampai ke bandara Malang sore hari. Jalur keluar dari tengah pulau sama seperti jalur masuk kami di awal. Perjalanan keluar pun waktu tempuhnya kurang lebih sama dengan perjalanan ketika masuk.
Seusai sampai di pos Perhutani untuk post check serta mengembalikan sepatu, kami bergegas mandi dan mencari makan siang. Puji Tuhan perjalanan pulang sangat lancar dan dapat kembali ke Jakarta tanpa kurang suatu apapun.
Tracking di pulau Sempu menjadi yang pertama dan yang terakhir bagi kami. Mengingat pesan dari ranger bahwa sebetulnya pulau Sempu bukanlah obyek wisata namun tempat tinggal para flora fauna khas endemik Malang dan sektiarnya. Tempat ini termasuk kategori terlarang untuk kunjungan manusia. Terimakasih pulau Sempu untuk warna-warni keindahan dari Sang Pencipta.
Disadur dari blog lama saya di WordPress.com