Seminggu yang lalu tepatnya di tanggal 29 Juli saya mengambil foto milkyway dan pemandangan sunset di Pantai Pok Tunggal Wonosari. Sebelumnya karena serba mendadak dan tidak sempat mencari tiket sekaligus mempersiapkan akomodasi selama nanti di Jogja.

Akhirnya saya memilih untuk mengendarai sepeda motor dari Jakarta agar lebih mudah untuk mobilitas selama di sana. Tempat tinggal sementara pun saya memutuskan untuk membangun tenda karena harus hunting di malam hari.

Beberapa hari sebelum keberangkatan saya mempersiapkan perlengkapan seperti tenda, matras, carrier, snack, kompor camping, makanan, dan minuman instan. Jam keberangkatan pun saya pilih pukul 22.30 WIB. Agar selama di jalur Pantura tidak terlalu ramai akan kendaraan.

Namun pada pelaksanaannya, meskipun waktu telah menunjukkan pukul 22.30–24.00, Jakarta masih macet parah. Apalagi di hari Jumat menjelang weekend. Baru dapat keluar dari Jakarta ke arah Bekasi sekitar pukul 23.30 dan ke arah Cikarang pukul 00.30.

Deretan mobil yang mengantri karena penyempitan jalur akibat pembangunan sepanjang Jakarta hingga Bekasi. Memang dirasa cukup mengganggu perjalanan. Tapi harus disyukuri, demi pembangunan negeri ini. Percaya saya.

Keberangkatan Menuju Jogja

Dari Cikarang menuju Karawang saya menjaga kecepatan sekitar 60–70 km/jam. Jalan santai karena yang penting adalah safety riding. Jalanan tampak sangat lengang melewati Cikampek hingga Subang. Beberapa kali berhenti hanya untuk isi bensin dan meluruskan kaki selama kurang lebih 30 menit.

Saya senang sekali dengan performa Honda Beat tahun 2011. Biarpun kecil namun bandel di jalanan dan tidak rewel. Remangnya penerangan di jalan dan gelapnya langit malam yang diikuti hembusan angin kencang menjadi teman untuk melanjutkan perjalanan. Setelah kira-kira menempuh perjalanan selama kurang lebih 5 jam akhirnya saya sampai di pintu masuk kota Cirebon.

Dari pintu kota Cirebon masih sekitar 30 menit lagi untuk sampai di gapura antar provinsi. Mendekati pintu gapura karena mata sudah cukup lelah saya memutuskan untuk tidur di Indomaret dengan modal membeli jajanan di waralaba tersebut agar diperbolehkan tidur sebentar di pelatarannya. Ternyata eh ternyata tidak jadi sebentar.

Saya terbangun karena matahari yang sudah mulai bersinar terang, ternyata waktu menunjukkan hampir pukul 07.00. Langsung bergegas minum air putih, lalu kembali duduk di atas motor. Tidak sampai 1 jam, saya sudah berada di provinsi Jawa Tengah. Tepatnya di kota Brebes. Dari Brebes menuju Tegal, saya mengambil ke arah jalur selatan untuk menuju kota Purwokerto.

Memangkas jalur dari utara ke selatan ternyata juga tidak lebih baik kondisinya menurut saya, malah terasa lebih melelahkan. Karena memang tidak familiar dengan jalurnya dan baru pertama kali. Selain itu kondisi jalan rusak serta banyak lubang, terlalu berkelok, dan tanjakannya cukup membuat mesin motor bekerja dengan berat. Mungkin dikarenakan Purwokerto berada tepat di bawah kaki Gunung Slamet.

Harus berhati-hati juga dengan kendaraan berat yang turut melintas di jalur ini. Pemandangan sungai kecil dan kebun milik warga yang asri di kanan-kiri sedikit menghibur. Sekitar pukul 08.30 saya sudah masuk ke tapal batas Purwokerto. Menyempatkan diri sejenak untuk meluruskan kaki.

Sekitar pukul 10.00 lebih sedikit akhirnya saya sampai juga di kota yang terkenal dengan tempe mendoannya. Tidak ingin banyak membuang waktu dan bahkan saya juga tidak sempat mencari mendoan untuk sekedar makan siang, langsung menarik gas untuk menuju Kebumen. Dengan kecepatan tempuh saya yang hampir 90 km/jam, kira-kira paling cepat butuh 2 hingga 3 jam perjalanan non-stop.

Tebalnya asap polusi kendaraan berat sangat menghantui saya selama berkendara. Kasihan motor saya, beberapa kali terkena kubangan yang cukup dalam saat berjalan dengan kecepatan tinggi akibat pengendaranya yang kurang tangkas.

Sesampainya di Kebumen tepat pukul 12.15 saya ditemani oleh seorang pengendara motor yang sangat ramah. Beliau berangkat dari Purwokerto untuk pulang ke rumah di kota Purworejo (yang berarti sama saja dengan beliau bekerja di Jakarta tetapi rumah di Bandung PP). Beliau ternyata kebetulan asli Salatiga, tetangga satu kampung.

Dengan berbaik hati mengarahkan saya menuju ke jalur alternatif Jogja di mana akan satu arah sampai dengan di persimpangan Muntilan — Purworejo. Cukup mengekor beliau selama di jalan dan mendapat jalur yang lebih cepat. Kami pun akhirnya berpisah di persimpangan tersebut karena saya diarahkan ke arah selatan yang dapat tembus menuju Bantul.

Tidak terasa pukul 14.30 saya sampai juga di Bantul. Melaju santai karena memang tangan saya sangat pegal akhirnya di sekitar Wates saya berhenti mampir ke Alfamart. Dinginnnya kaleng softdrink membuat pegal di tangan sedikit berkurang, sekalian saya membeli 2 botol Aqua besar untuk nanti di pantai. Jalur dari Bantul menuju Wonosari dapat melewati jalanan ke makam Imogiri dan lanjut melewati daerah Mangunan.

Lesson learned, pastikan bensin sudah terisi penuh sebelum mengarah ke makam Imogiri karena di jalur tersebut tidak ada pom bensin. Saya sempat panik karena bensin yang menipis, untung ada Pertamini milik warga. Bukit Panguk Kediwung Dlingo, Hutan Cemara Dlingo, dan Taman Buah Mangunan adalah obyek wisata pada jalur yang saya lewati. Sinyal di jalur ini kurang bersahabat sehingga sempat tersasar karena GPS terlambat memberikan arahan.

Sampai di Pantai Gunung Kidul

Hari sudah semakin sore, sudah satu jam semenjak saya berangkat dari Bantul. Semakin tidak berharap untuk sampai dengan tepat waktu sebelum sunrise. Saya masih berputar-putar di daerah Pathuk dan Playen. Namun akhirnya saya mendapatkan jalur alternatif melewati Jalan Baron setelah melalui proses bertanya kepada warga sekitar.

Setelah melewati Jalan Baron, tepat pukul 17.00 akhirnya sampai di Pantai Pok Tunggal via jalur belakang yaitu lewat Pantai Indrayanti, Drini, dan Krakal. Sesampainya di pantai saya langsung mencari tempat parkir dan membereskan perlengakapan saya. Mengganti baju dan bilas kaki tangan untuk memulai aktivitas hunting sunset. Tidak lupa mengganti alas kaki menggunakan sandal gunung agar sepatu tidak basah oleh air laut.

Terakhir saya melewati Pantai Baron adalah ketika masih TK. Hampir 15 jam mengendari motor, usaha yang luar biasa

Saya berjalan santai di sepanjang pantai, menerabas hempasan air laut, dan duduk di sekitar bukit karang. Asik menikmati senja barang sejenak. Badan juga menjadi lebih rileks karena aliran darah mulai mengalir lancar setelah terlalu banyak duduk di motor. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.30 dan langit menjadi gelap, akhirnya saya mampir ke warung milik warga untuk mandi karena sudah sangat dekil dan membeli makan malam.

Es Jeruk seharga Rp.2.000,- dan Nasi Goreng Seafood seharga Rp10.000,-. Gila murahnya bukan main dan rasanya pun bintang 5, seafoodnya segar dan melimpah.

Saya juga menyempatkan cek pesan di smartphone memantau grup keluarga. Karena sengaja tidak memberikan kabar sedang solo touring. Setelah selesai segera tenda saya dirikan dan dilanjutkan memasak air untuk menyeduh minuman panas. Tidak lupa makanan ringan pun ikut tersaji. Di malam itu Pok Tunggal cukup ramai dan tidak diduga sekitar pukul 21.00 ternyata hujan deras hingga beberapa jam.

Momen tersebut saya manfaatkan untuk beristirahat karena badan ini sudah sangat lelah. Untungnya sebelum hujan deras sudah sempat mengabadikan Milkyway yang dengan cerahnya terbit di pantai ini.

Keesokan pagi saya bangun tepat pukul 07.00. Badan sudah segar dan dengan sigap kembali memasak air untuk membuat sarapan serta minuman hangat. Tidak pakai lama setelah sarapan indomie 2 bungkus dan segelas green tea latte. Peralatan dan tenda langsung dipacking karena tampak langit kembali mendung. Khawatir akan turun hujan.

Namun ternyata alam berkehendak untuk menurunkan hujan yang turun dengan derasnya, saya pun memilih untuk menepi di warung milik warga. Untungnya tidak lama hujan segera reda.

Pulang Kembali ke Jakarta

Di jalur menuju jalan pulang, saya mengarahkan sepeda motor ke Wonosari karena ada keperluan untuk bertemu Mas Heri leader di kantor sebelumnya. Menyempatkan untuk bersilaturahmi sebentar dan kembali melanjutkan perjalanan turun ke Klaten melewati Piyungan. Sekitar pukul 11.30 akhirnya sampai di Klaten. Tanpa beristirahat saya langsung gas menuju Jatinom dan mengarah ke kampung halaman di Salatiga.

Perjalanan non-stop saya tempuh, jikapun berhenti saya hanya menyempatkan untuk mengisi bahan bakar dan mendinginkan mesin motor sebentar. Dalam kurun waktu 6 jam entah sudah berapa kota yang saya lewati. Tidak terasa pukul 15.00 saya sudah mendarat di kota Kendal. Sengaja tidak mampir ke rumah karena takut Ibu saya mengomel.

Jalur Pantura pun saya lalui, mulai dari Weleri hingga sampai di Brebes pukul 19.45. Perjalanan pulang ternyata lumayan padat merayap, tidak lupa saya memberi kabar Ibu Kost bahwa kira-kira sampai di kost sekitar pukul 02.00 atau 02.30 dini hari. Melanjutkan perjalanan melewati kota Cirebon dan sampai di arah Subang, entah kenapa telapak tangan saya terasa sangat perih.

Awalnya saya cuek namun lama kelamaan tidak tertahankan. Membuka sarung tangan dan kaget karena telapak tangan “kepalan” pada lipatan-lipatannya. Terlalu lama mengepal di motor ternyata aliran darah jadi terhambat dan membuat perih, bahkan ketika saya luruskan terasa nyeri luar biasa. Akhirnya saya putuskan untuk berhenti sekitar 30 menit sembari memijat tangan saya sendiri.

Perjalan kembali berlanjut dari Indramayu menuju Cikampek mengalami kemacetan akibat penyempitan jalur sehingga 1 arah dan ada truk yang mogok. Dan akhirnya selepas Cikampek menuju Cikarang dapat ditempuh dengan lancar karena jalanan sangat sepi. Bahkan tepat pukul 01.00 saya sudah sampai di Bekasi.

Dari Bekasi saya langsung mengarah ke Jakarta dan akhirnya sampai juga di kost tepat pukul 02.00 dini hari seperti janji saya kepada Ibu Kost. Beliau tampak khawatir dan segera menyuruh saya untuk lekas beristirahat karena di hari itu juga harus masuk ke kantor pukul 08.00 pagi untuk mengikuti rapat bersama user. Puji Tuhan dapat sampai dengan selamat.

Jika ditanya apakah ingin mengulang lagi touring ke Jogja. Ingin tentunya, tapi lebih memilih lewat jalur utara saja. Ini sepenggal cerita saya, masih ada keajaiban Juli dan Agustus lainnya yang saya ingin share.

Disadur dari blog lama saya di WordPress.com