Senin siang saya mengirimkan pesan WhatsApp singkat “Eh Ri, Jumat nanjak yuk? Cikuray mau ngga?” Teman kantor lama saya Ari pun tumben dengan cepat merespon “Oke siap Di boleh, siapa aja?” Pertanyaan dari Ari membuat saya bingung untuk menjawab. Saya pun asal memberi jawaban “Worst case berdua aja nih“. Kenapa hanya berdua? Karena Firman yang biasanya ikut tidak dapat bergabung, harus menghadiri acara keluarga.
Dan hingga menjelang hari H yang dadakan seperti tahu bulat saya masih belum mendapatkan anggota tambahan untuk mendaki. Tapi bukan menjadi sebuah masalah besar untuk kami berdua. Jadilah pendakian ke gunung Cikuray adalah duet maut bersama Ari. Rencana serta perlengkapan langsung disusun dengan sedemikan rupa. Dari hasil pencarian di Google ternyata track Cikuray cukup berat medan perangnya.
Poin keberangkatan saya dan Ari sepakat untuk bertemu di Kampung Rambutan. Jalur yang dipilih tracking adalah jalur Pos Pemancar Cilawu. Kata orang jalur tersebut adalah jalur resmi yang ‘sedikit ramah’ untuk melamar sang dewi di ketinggian 2821 mdpl dan ganas pada paragraf 2 adalah meskipun musim hujan akan tetapi di gunung tersebut (hampir) tidak ada mata air. Jalurnya pun penuh dengan tanjakan yang cukup sadis.
Pembagian peralatan, kami bagi menjadi 2 bagian. Ari bertugas membawa tenda dan perkakas akomodasi untuk tidur, sedangkan saya membawa kebutuhan logistik konsumsi. Berbekal pengalaman dari gunung Lawu, makanan dan minuman jangan lagi diremehkan. Berikut adalah list bawaan kami berdua:
- 2 carrier besar (Ari 55+10 lt dan punya saya 60+10 lt)
- Tenda besar untuk 2–3 orang.
- Penerangan (senter, headlamp, dan lampu tenda).
- Gunting, nesting, gas, sarana makan minum, dan kompor.
- Jas hujan.
- Sleeping bag.
- Matras.
- Jaket dan gear hiking (sarung tangan, sandal atau sepatu gunung, dan kaos kaki).
- Pakaian ganti
- Air minum 5 botol 1.5 lt + 1 botol 750 ml (harusnya 2 botol 750 ml tapi Ari lupa beli).
- Spaghetti, sarden, biskuit oreo, kacang telur, 5 indomie, daging ham, dan dendeng empal.
- 8 Fitbar coklat dan 8 Beng-Beng untuk emergency case sekaligus kalori instan selama perjalanan.
- Green tea latte, wedang jahe, wedang uwuh, coklat, dan Milo.
- Kantong plastik, wajib banget untuk membawa sampah.Ingat! Gunung bukan tempat sampah!
- Kamera dan tripod.
Setelah semua perlengkapan tersebut terbungkus dengan rapi, sesuai dengan rencana di awal kami berjumpat di Terminal Kampung Rambutan pukul 23.00 WIB. Menggunakan transportasi bus patas AC menuju Terminal Guntur Garut. Kira-kira 15 menit kemudian kami sudah berada di dalam bus dan sayangnya tidak segera berangkat.
Ngetem cukup lama karena menunggu penumpang lain. Satu per satu penumpang pun masuk. Tarif tiket perjalanan sebesar Rp 52.000,- per orang. Setelah hampir setengah jam lebih mengisi penumpang, akhirnya bus patas yang kami tumpangi berangkat juga. Selama perjalanan saya dan Ari tertidur pulas agar ketika mendaki tidak terlalu mengantuk.
Akhirnya Sabtu dinihari pukul 04.30 kami tiba di Terminal Guntur Garut. Sembari mengumpulkan nyawa yang baru saja kami mencari sarapan pagi. Ternyata di seberang terminal terdapat warung bubur ayam dan nasi uduk yang sudah buka. Saya langsung pesan 2 mangkuk bubur ayam gratis teh tawar hangat serta kopi instan. Sedangkan Ari dengan lahapnya sarapan bubur ayam ditambah dengan sepiring nasi uduk.
Mengumpulkan kalori sebagai bahan bakar demi mendaki Cikuray. Untuk pendakian pagi sarapan adalah hal yang penting dan vital. Setelah selesai makan kami bersantai sejenak. Tepat pukul 05.30 pagi kami memutuskan untuk mulai kembali berkemas dan menyewa mobil pick-up menuju Pos Pemancar Cilawu seharga Rp 45.000,- per orang. Bersama dengan 8 pendaki lain yang kebetulan juga akan mendaki Cikuray.
Dinginnya kota Garut menembus tulang. Namun cukup membuat pikiran dan raga lebih segar, palagi 2 hari sebelumnya saya sangat sibuk dengan urusan kantor. Tamparan dingin angin di wajah saya membuat saya terjaga. Jarak dari terminal Garut menuju Pos Pemancar ternyata cukup jauh, baru sampai di daerah perumahan warga dekat kebun teh kira-kira pukul 06.30 dan wajib mengisi form pendaftaran ditambahkan uang sukarela.
Setelah 30 menit melanjutkan perjalanan, Kembali diminta mengisi form pendaftaran kembali yang entah untuk apa dan wajib membayar Rp 10.000,- per orang. Akhirnya pukul 07.30 pagi kami sudah sampai di pos pemancar. Sebelum kami turun kembali memeriksa barang bawaan agar tidak ada yang terlewat.
Pendakian kami dimulai pukul 08.00 WIB tepat ketika matahari mulai memancarkan cahaya hangatnya. Kami beranjak dari warung menuju Pos 1. Track di awal perjalanan didominasi batu dan tanah yang membentuk jalanan kampung sehingga tidak ada kendala. Melewati perkebunan teh warga. Pemandangannya khas daerah Jawa Barat yang didominasi tanaman teh. Segar dan wangi.
Melewati perkebunan warga, tanjakan masih terasa ringan hanya nafas yang sedikit tersengal karena belum terbiasa dengan beban di pundak. Setelah menempuh kira-kira 10–15 menit dari Pemancar akhirnya kami sampai juga di Pos 1. Ternyata di sini pun masih dipungut biaya sebesar Rp 15.000,- per orang. Ya sudah lah ikhlaskan saja.
Dari Pos 1 menuju ke Pos 2 kembali melewati perkebunan warga serta elevasi tanjakan mulai berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih curam. Dari yang awalnya berupa undakan tangga kayu dan tanah menjadi tanjakan tanah yang licin. Maklum bulan di Agustus curah hujan masih sangat tinggi. Untungnya pagi itu cuaca sangat bersahabat, hanya sedikit berkabut.
Udaranya dingin tetapi entah keringat saya sudah mulai menetes. Setelah 10 menit menempuh perjalanan di area perkebunan akhirnya mulai masuk melalui bibir hutan. Memasuki hutan kondisi jalan belum berubah. Hanya ada tanjakan. Bahkan elevasinya pun semakin menjadi-jadi (yang nantinya hingga kami tiba di puncak). Tiada ampun, tanahnya tinggi berundak-undak seperti anak tangga.
Tidak salah jika dikatakan dengan “dengkul ketemu dada”. Bayangkan jika 30 menit seperti ini mungkin dapat diterima. Tapi jika 420 menit terus-menerus, apakah masih dapat diterima? Vegetasi menuju Pos 2 cukup renggang, cahaya matahari tetap dapat menembus pepohonan.
Lumayan untuk membuat badan menjadi hangat karena dinginnya kaki gunung bercampur dengan keringat yang terus mengucur dapat mengakibatkan badan meriang.
Harus saya akui jalur Cikuray cukup ‘gila’ dan ini adalah kali pertama saya mencoba jalur yang seperti ini. Terlihat banyak sekali pendaki yang di awal berjalan bersama kami sudah langsung duduk beristirahat. Tetapi saya dan Ari masih penuh dengan semangat karena telah menentukan check point untuk beristirahat. Target sebelum sunset tenda telah berdiri tegak.
Kira-kira berjalan hampir 45 menit nafas kami berdua pun senin-kamis juga akhirnya. Padahal belum ada 1/4 perjalanan.
Dalam hati saya “ Ini Pos 2 ada di mana sebetulnya? Parah dah parah….” Akhirnya kami berdua pun memutuskan untuk beristirahat beberapa kali dengan durasi setiap kali istirahat adalah sekitar 2–3 menit. Lumayan untuk mengistirahatkan paru-paru yang kelihatannya hampir bocor akibat tanjakan maut Cihuy Huy (red. ini adalah nama asli tanjakannya)
Setelah perjalanan yang berat akhirnya kami sampai di Pos 2. Total waktu yang ditempuh semenjak dari Pos yaitu sekitar 1 jam 15 menit. Agak kaget ketika melihat penampakan Pos 2. Tadinya mengira ada warung atau shelter berteduh. Ternyata Pos 2 di Cikuray tidak lain hanya tanah datar yang tidak terlalu luas. Mungkin hanya muat 1 sampai 2 tenda besar dan 2 sampai 3 tenda kecil.
Kami berdua memutuskan untuk beristirahat sebentar sekitar 10 menit. Kebetulan vegetasi hutan di Pos 2 sangat rimbun, cocok untuk mengeringkan keringat yang membasahi badan. Selama perjalanan harus berhati-hati karena banyak akar pohon yang menjulur di atas tanah. Jika tidak berhati-hati dapat tersandung atau tergores akar. Dianjurkan menggunakan kaos kaki jika mengenakan sandal gunung.
Setelah selesai beristirahat kami berdua pun melanjutkan perjalanan ke Pos 3. Pos 3 merupakan check point bagi kami. Karena rencananya akan membuat makan siang di tempat ersebut. Perjalanan menuju Pos 3 sangat berat. Tanjakan menuju ke Pos 3 tidak pernah ada habisnya, benar-benar lutut ketemu dada. Didominasi 3 bentuk tanjakan yaitu tanah basah, batuan berundak yang cukup curam, dan akar yang membentuk tangga.
Kombinasi tanjakan sangat berwarna. Beruntung jika dapat memilih jalur yang tidak terlalu curam, tapi biasanya harus sedikit berputar-putar. Ingin rasanya kembali ke Pos 1, tanjakannya tidak ada henti. Dalam hati sangat berharap ada jalan yang landai dan terpikir untuk turun kembali. Tetapi yang benar saja, sudah sejauh ini masa sudah menyerah.
Apalagi Ari sedang test performanya setelah katanya rajin berolahraga untuk persiapan ke Rinjani minggu depan. Tapi ternyata performa hanyalah performa. Di tempat ini selain performa juga butuh mental dan semangat. Saya sendiri berusaha untuk tidak memikirkan beratnya track yang kami tempuh.
Jika suka dengan track yang landai dan penuh kecantikan alam sekitar jangan sekali-kali berharap ada di Cikuray.
Bukan artinya Cikuray tidak memiliki alam yang indah. Tetapi indahnya beda perspektif. Langkah gontai akhirnya menuntun kami hingga sampai dengan selamat di Pos 3. Menempuh medan berbatu terjal serta curam serta hutan yang padat selama 2 jam. Track yang mengharuskan kami bergerak hingga betis panas serta paha yang mulai sedikit kram.
Langsung mencari spot untuk masak, segera mengeluarkan kompor dan memasak air untuk membuat minuman hangat dan memasak Indomie. Dalam waktu kurang dari 15 menit telah tersaji sebotol Green Tea Latte hangat dan sepanci Indomie rebus lengkap dengan potongan daging bacon sumbangan dari isi kulkas rumah Ari. Nikmat sekali dan kurang dari kurun waktu 10 menit sajian tersebut sudah habis.
Agaknya suasana hutan yang teduh dan syahdu membuat kami berdua ingin bersantai, akhirnya si Ari tiduran beristirahat sebentar sedangkan saya memilih untuk duduk santai sembari meluruskan kaki.
Setelah beristirahat hampir 30 menit, ternyata waktu telah menunjukan pukul 11.30 WIB. Tidak ingin membuang waktu, kami berdua langsung menuju Pos 4. Singkat cerita untuk menuju Pos 4 jalanan semakin curam dan terjal. Kombinasi yang sama, tersusun dari tanjakan tanah basah, tangga batu, dan tangga akar yang licin. Tanjakan Wak Waw akhirnya muncul menghadang tepat di depan mata.
Dari Pos 3 menuju Pos 4 kira-kira butuh waktu sekitar 15–20 menit dengan berjalan santai tanpa banyak berhenti. Dan dari Pos 4 menuju Pos 5 ternyata juga tidak terlalu lama jarak tempuhnya meski medannya berat seperti sebelumnya yaitu sekitar 15–20 menit dan bahkan bertambah berat lagi.
Menuju Pos 5 adalah saat-saat di mana saya merasa seperti lari marathon tanpa henti dengan pace yang cepat. Detak jantung sudah tidak beraturan, dari Pos 5 menuju Pos 6 jalan pun kami mulai sempoyongan. Hingga sekarang saya tidak percaya dengan medan yang kami lalui dan yang akan kami lewati lagi di depan mata. Yang terlihat di depan mata masih tampak sama. Hutan lebat dan tanjakan Wak Waw.
Akhirnya Pos 6 dapat kami tempuh dalam kurun waktu 20–25 menit dari Pos 5. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Pos 4–5–6 memiliki jarak tempuh yang cukup dekat. Dengan catatan tetap terus berjalan meskipun dengan berjalan lambat.
Dari Pos 6 menuju Pos 7, saya dan Ari beristirahat lagi di Pos 6 bayangan. Rasa kantuk telah membayangi sejak dari Pos 5. Sekitar 20 menit kami beristirahat di pos bayangan tersebut untuk tidur sebentar.
Setelah puas meregangkan otot yang dari sempat tegang, sudah saatnya langsung summit ke Puncak. Nafas yang pengap dan rasa haus terus menyerang hingga harus beberapa kali memaksa kami untuk segera duduk beristirahat. Dari Pos 6 bayangan kami membutuhkan waktu sekitar 1.5 jam menuju puncak.
Kebetulan di Pos 7 juga sudah penuh oleh tenda karena direserve untuk acara Polri. Mau tidak mau harus camping di Puncak. Ari pun yang menemukan tempat untuk mendirikan tenda. Ternyata saya salah beli sepatu, ukurannya terlalu kecil. Padahal waktu di toko ukuran 42 terasa pas dan hal ini pula yang membuat saya dan Ari ribut ketika perjalanan turun.
Sesampainya di puncak dan mendirikan tenda rasanya sungguh lega. Tepat pukul 15.00 tenda kami sudah berdiri tegak. Saya menggerutu karena kabut yang menyelimuti puncak. Titik tertinggi bumi Parahyangan, 2821 mdpl. Dengan sigap saya dan Ari berganti pakaian dan segera beristirahat. Menjelang maghrib kami membuat Milo hangat dan Ari menyiapkan menu makan malam yang sangat nikmat untuk disantap.
Spaghetti bacon dengan bumbu Carbonara hasil sumbangan isi kulkas rumah Ari. Tidak lupa dilanjut dengan wedang uwuh hangat yang menghangatkan jiwa dari dinginnya malam.
Malam di atas puncak pun ternyata penuh bintang, saya abadikan beberapa gambarnya lewat kamera yang memang sengaja dibawa. Kebetulan masih dalam fase bulan mati.
Disadur dari blog lama saya di WordPress.com