Pendakian di gunung Lawu adalah pendakian yang paling berkesan bagi saya. Karena pada pendakian ini banyak sekali cerita serta pesan moral untuk saya serta adik-adik sepupu yang mungkin saja dapat kehilangan nyawa karena hipotermia. Di gunung ini juga mendapatkan teman baru dan menyadari betapa pentingnya kata kompak di dalam pendakian.

Memang terkesan lebay tetapi seperti itulah kenyataannya. Setiap pendakian memiliki ceritanya masing-masing bukan?

Di sekitar awal bulan saya dan Ega berencana untuk mendaki gunung Lawu. Lokasinya di dekat kampung halaman keluarga besar kami, yaitu di kota Karanganyar provinsi Jawa Tengah. Untuk ketinggiannya dapat dikatakan cukup tinggi yaitu sekitar 3265 mdpl (dengan puncak Hargolawu). Terdapat 3 jalur resmi untuk pendakian yaitu Cemara Sewu, Cemara Kandang, dan Candi Cetha.

Jalur pendakian yang menjadi favorit para pendaki adalah Cemara Kandang, sedangkan yang paling cepat untuk mencapai puncak adalah Cemara Sewu, dan yang paling lama namun memiliki pemandangan yang indah adalah Candi Cetha. Di luar dugaan ada beberapa anggota keluarga lain ingin ikut mendaki bersama kami. Om Marwan, Bulik Tuti, Debora, dan Kella terdaftar sebagai anggota. Bertambahlah anggotanya menjadi enam orang termasuk saya.

Perlengakapan seperti tenda, tas carrier, sleeping bag, alat masak, dan sepatu telah kami persiapkan dengan baik. Jadwal pendakiannya pun sudah ditata sedemikian rupa yaitu di bulan Juni termasuk jam pendakian. Perbekalan seperti minuman, makanan, snack, dan sebagainya turut dipersiapkan semaksimal mungin. Agar selama pendakian kami sekeluarga tidak kekurangan suplai perbekalan.

Atas dasar pertimbangan ingin melakukan pendakian yang santai maka diputuskan untuk sewa porter. Dan karena menggunakan jasa porter akhirnya saya memilih hanya membawa tas kamera National Geographic seri NG5160 saja dan merupakan keputusan paling salah dalam catatan pendakian saya. Jika dapat kembali mengulang waktu saya tidak akan menggunakan tas ini untuk mendaki gunung yang memiliki ketinggian di atas 2500 mdpl. Gila parah, tas ini hanya mampu menampung:

  1. Kamera dan 2 lensa
  2. 1 pakaian dalam, 1 celana ganti, dan 1 baju yang saya gulung sekecil mungkin agar muat
  3. 1 handuk kecil dan alat makan
  4. senter dan 1 kaleng gas untuk masak
  5. 1 tripod
  6. 1 jas hujan motor
  7. 3 botol Aqua 600ml
  8. 6 fitbar + 4 beng-beng

Sangat tidak layak jika untuk tracking, bahkan untuk membawa matras dan sleeping bag saya gantung di tas dengan tali sepatu.

Perlengkapan yang dibawa oleh Ega juga tidak berbeda jauh, berbekal tas gunung 45 liter milik adik saya. Sehingga juga tidak dapat menampung banyak peralatan. Hanya dapat membawa peralatan pribadinya sendiri ditambah dengan :

  1. Tenda kecil untuk 2 orang
  2. Flysheet dan kompor
  3. 3 botol Aqua 600ml
  4. Makanan ringan seadanya dan 6 fitbar + 4 beng-beng

Perlengkapan yang utama justru kami titipkan kepada porter yang akan membawakan barang-barang keluarga yang lain. Berikut adalah foto saya dan Ega dengan gear yang seadanya seperti di deskripsi atas. Serta foto kami sekeluarga sebelum memulai pendakian.

Dari Karanganyar kami berangkat dari rumah sekitar pukul 08.00 WIB. Di tengah perjalanan Om Marwan memutuskan mendaki dari jalur Cemara Kandang dan bukan lewat Candi Cetha. Dikarenakan Om Marwan dan Bulik Tuti sudah pernah mendaki Gunung Lawu lewat jalur ini sebelumnya. Karena beliau berdua lebih berpengalaman, saya dan adik-adik mengikuti saja.

Sebelum pendakian Om Marwan sempat-sempatnya memesan ayam yang telah dibumbu untuk dibakar sebagai santap malam, tetapi sampai dengan akhir pendakian ayam-ayam tersebut entah bagaimana nasibnya. Sesampainya di basecamp, kami mendaftar di pos jaga dan menyewa porter. Barang bawaan keluarga Om Marwan yang terdiri dari 2 carrier 60 liter dishare ke porter dan 3 tas kecil lainnya adik-adik yang bawa.

Tepat pukul 10.30 kami berangkat mendaki. Waktu di awal pendakian hanya bertemu sedikit pendaki lain. Saya hanya bertemu dengan sepasang anak mahasiswa yang baru saja lulus dan mas-mas pendaki santai (yang akhirnya menjadi teman pendakian di gunung-gunung selanjutnya). Cukup sepi dikarenakan kala itu sedang bulan puasa, sehingga yang mendaki kebanyakan adalah non-muslim.

Dari pos jaga kami berjalan cukup santai, alon-alon asal kelakon kalau kata orang Jawa. Dengan bangganya saya pun berjalan di depan. Dengan beban barang yang ringan saya dapat berjalan 2–3 kali lebih cepat dibandingkan dengan bawaan saya ketika mendaki Gunung Cikuray bersama Ari. yang jika ditotal bebannya dapat mencapai 10 sampai 12 kg. Di perjalanan ini mungkin hanya sekitar 5–7 kg. Kami sekeluarga berjalan cukup kompak pada awalnya.

Perjalanannya sangat menyenangkan, tanjakannya dirasa cukup manusiawi dan tidak lebay. Tidak sampai lutut bertemu dada. Dari pos jaga tanjakannya berupa tangga dari batuan yang telah disusun oleh pengelola. Di jalur Cemara Kandang vegetasi hutannya sangat rimbun dan seringkali terlihat monyet-monyet asik melompat di pepohonan. Dengan padatnya pohon atau cukup rapat maka terik matahari sama sekali tidak terasa.

Jalur pendakian cukup jelas dan kita dapat membedakan mana jalur yang sering dilewati dengan jalur yang jarang dilewati oleh manusia. Hanya sekedar saran jika musim hujan dan angin kencang sebaiknya berhati-hati karena rawan akan pohon tumbang. Selepas dari pos jaga, hingga Pos 1 jalur berubah menjadi jalur tanah dan harus sedikit berbecek-becek karena di malam sebelumnya diguyur hujan yang lebat.

Masih cerita tentang tanjakan seperti yang sebelumnya saya sampaikan, mirip dengan tanjakan cantik pada treadmill sehingga aman untuk stamina. Untuk sampai di Pos 1 waktu tempuh yang dibutuhkan adalah 1.5 jam perjalanan lebih sedikit. Bangunan Pos 1 adalah sebuah shelter tua. Sebetulnya ada warung, tetapi karena di bulan puasa warung tersebut tidak beroperasi.

Di Pos 1 kami bertemu dengan mas-mas pendaki santai bernama Mas Widi dan Mas Setyo. Kami saling berkenalan dan ngobrol santai sambil menunggu Om Marwan. Setelah Om Marwan sampai di Pos 1 dan memutuskan untuk beristirahat serta merokok bersama Mas Widi. Kami kembali melanjutkan perjalanan. Tidak terasa capek karena saya sendiri sibuk berjalan sembari mendengarkan musik dan merasa memimpin di depan.

Mungkin jarak antara saya, Ega, dan yang lain hanya selisih 1–2 menit. Tetapi dikarenakan rasa percaya diri saya yang terlampau ‘tinggi’ serta menganggap barang bawaan saya sudah lebih dari cukup, saya mulai berjalan cepat meninggalkan yang lain diikuti Ega yang berusaha mengimbangi. Perjalanan menuju Pos 2 jaraknya lumayan dari titik Pos 1, namun tanjakannya tidak seberapa berat. Hanya rintangannya yang menggila.

Mulai dari harus melewati pohon raksasa tumbang (benar-benar ini pohon saya yakin umurnya di atas 100 tahun), merangkak karena ada dahan-dahan tumbang, aksi panjat permukaan tanah yang longsor, dan rintangan lainnya yang lebih parah dari sekedar rintangan asmara karena ditentang orang tua #halah

Menuju Pos 2 mulai sedikit ada rasa lelah yang menjangkit. Awalnya bulik dan adik-adik saya masih dapat menempel. Namun lama kelamaan mereka tertinggal jauh. Akhirnya saya bilang ke porternya untuk tetap bersama bulik dan adik-adik, sedangkan saya dan Ega tetap lanjut. Inilah kesalahan fatal kedua yang saya lakukan. Apapun kondisinya, KELUARGA HARUS TETAP BERSATU.

Yang saya pikirkan cuma ego untuk terus berjalan dan dapat sampai puncak di bawah 10 jam. Bahkan Ega yang sudah loyo jalannya tetap saya push untuk terus melanjutkan. Akhirnya dalam waktu kurang lebih 1 jam dari Pos 1, saya dan Ega mendarat di Pos 2. Di Pos 2 saya bertemu dengan sepasang pendaki mahasiswa yang baru saja lulus. Mereka kuliah di UNDIP dan berasal dari Sumatera.

Kami hanya mengobrol sebentar untuk sekedar bercakap-cakap. Terlihat dari bawaan mereka yang kontras jika dibandingan dengan kami. Sangat lengkap, bahkan air minum mereka membawa 5 botol 1.5 liter. Sekitar 15 menit kami beristirahat, akhirnya disusul juga oleh bulik dan adik-adik serta porter. Lalu pendaki mahasiswa itu pun melanjutkan kembali perjalanan mereka.

By the way Pos 2 merupakan spot favorit ketika mendaki di Lawu. Tempatnya asri dan hijau serta berhawa sejuk. Saya dan keluarga menyempatkan diri untuk berswa foto di sini.

Setelah cukup puas beristirahat dengan total waktu hampir setengah jam di Pos 2, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Inilah proses perjalanan di gunung Lawu yang sesungguhnya. Dari Pos 2 menuju Pos 3 itu ternyata sangat jauh sekali dan berbeda dengan yang ada di benak saya. Berharap dapat ditempuh kurang dari 1 jam. Namun pada kenyataannya memerlukan waktu setidaknya hampir 3 jam perjalanan non-stop.

Diawali dengan jalan yang landai dan tidak langsung menanjak secara frontal. Di lajur kiri adalah jurang dan hutan pinus yang cukup lebat sehingga harus extra berhati-hati dan fokus memperhatikan jalur. Hampir sama sekali tidak menanjak karena hanya memutari punggung gunung.

Sesampainya di Pos 3 Bayangan terbitlah tanjakan maut. Saya dan Ega yang barang membawa gear ringan sampai dibuat terengah-engah di jalur ini. Tanjakan yang tidak ada habisnya, mata terus tertuju ke atas, dan harus berhati-hati karena sangat licin ketika melewati undak-undakan batu yang terkena lumpur. Paha terasa cukup panas.

40–50 derajat kemiringan dan undak-undakan tangga tanah yang licin membuat kami kerap hampir terpeleset. Saya rasa sebetulnya Ninja Hattori tidak terlahir di Jepang, namun di Gunung Lawu. Perjalanan menuju Pos 3 memang luar biasa. Terkadang saya dan Ega memilih untuk memotong jalur dengan cara memanjat longsoran tebing agar lebih cepat meskipun sangat melelahkan.

Di perjalanan menuju Pos 3 ini pula kami berdua mulai merasa resah.

Tips suplai makanan ketika mendaki gunung adalah sedia makanan tinggi kalori. Setiap jalan yang sifatnya mendaki selama 15–20 menit sudah banyak menguras tenaga. Sehingga membutuhkan makanan yang dapat menggantikan kalori yang hilang. Disarankan juga sedia makanan yang mengandung gula cukup tinggi.

Tidak sadar kami berdua telah terlalu jauh meninggalkan yang lain Air sudah hampir habis tersisa masing-masing 1 botol Snack tinggal tersisa 2 bungkus beng-beng Di tengah jalur kami memutuskan untuk beristirahat sebentar untuk melegakan pundak yang mulai terasa pegal. Hampir 30 menit kami beristirahat sembari menantikan pendaki lain. Suasananya sangat sepi karena hanya ada saya, Ega, dan pohon-pohon tumbang. Porter dan saudara-saudara yang lain masih jauh di belakang.

Kami mulai merasa cemas, jalur pendakian kali ini adalah daerah yang mudah longsor. Ditambah kabut yang mulai menghalangi pandangan. Keadaan mulai cukup mencekam. Tiba-tiba terdengan suara langkah mendekat. Mas Widi dan Mas Setyo yang sebelumnya berada jauh di belakang ternyata sudah sampai di tempat kami.

Tidak sungkan-sungkan saya langsung bertanya kepada Mas Widi, “Mas, ada makanan ngga mas? Kita kehabisan makanan. Sudah lemas ingin pingsan!“ Sudah tidak ada lagi rasa malu padahal baru saja mengenalnya di perjalanan. Tidak disangka Mas Widi langsung dengan sigap menyodorkan setoples parcel nastar lebaran. Dengan lahap kami berempat menghabiskannya.

Mas Widi sebetulnya pun menegur kami agar tidak lagi melanjutkan perjalanan demi menunggu keluarga kami di belakang yang tertinggal sangat jauh. Sekitar 1 jam perjalanan. Mas Widi dan Mas Setyo pun ijin pamit untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Karena takut gelap karena sudah hampir sore kami berdua segera menyusul Mas Widi dan Mas Setyo ke Pos 3. Di Pos 3 hanya ada shelter kecil yang cukup menampung 1 tenda. Kami pun mengobrol tentang pengalaman pendakian masing-masing serta berbagi tips.

Puas dengan obrolan, Mas Widi dan Mas Setyo melanjutkan pendakian dan kami memilih untuk bersantai dulu sambil mengeringkan baju yang terkena keringat dan embun kabut. Kebetulan di Pos 3 saat itu waktu masih menunjukan pukul 15.00 sehingga matahari masih cukup panas dan kabut mulai tampak menipis. 30 menit sudah kami duduk manis dan waktunya bergegas ke Pos 4.

Perjalanan dari Pos 3 menuju Pos 4 melewati jalur pinus yang tanjakannya cukup terjal. Jalan tanah berbatu yang jika tersandung maka kaki terasa pilu. Setelah merangkak di jalur tersebut hampir 1 jam, akhirnya kami bertemu dengan jalur yang bersahabat. Tidak terlalu menanjak sehingga bersahabat bagi paha kami yang mulai terasa kaku dan pegal. Jalanan dengan batuan serta penuh pasir.

Di sisi kanan kiri kami adalah tebing. Jalur tersebut tampak spiral yang berputar. Pendaran matahari sore membuat perjalanan menuju Pos 4 sangat cantik dan sayang untuk tidak dinikmati. Bahkan sempat membuat kami lupa bahwa di bawah sana Om, Bulik, adik-adik saya, dan para porter sedang berjibaku menuju Pos 3.

Matahari terbenam sudah, waktu menujukkan tepat pukul 17.30. Akhirnya sampai di Pos 4. Senter mulai dinyalakan, perut sudah keroncongan karena tenaga nastar telah habis. Kami berdua berjalan dengan lunglai dan minuman tersisa tinggal 1 botol. Dari pos 4 sampai dengan Pos 5 sebetulnya sudah dekat, sekitar 30 menit perjalanan.

Kesalahan fatal terakhir adalah saya benar-benar lupa jika Om Marwan pernah memberi pesan “dari Pos 5 lurus saja, nanti tunggu di pendopo warung Mbok Yem” Karena sudah tidak fokus kami justru tidak ke Pos 5 namun langsung ke Puncak. Kombinasi jalan yang sangat menanjak ditambah udara dingin mencapai 3–5 derajat membuat tenaga kami makin terkuras. Bahkan sempat berhalusinasi.

Tiba-tiba karena ngeblank saya terjatuh dan berbaring di tengah jalur sambil mengigau. Ega ternyata begitu juga. Saya merasa kami berdua bersenandung lagu rohani, tertawa tidak jelas, dan saling berpesan “jika salah satu dapat turun, tolong jangan melupakan salah satu dari kita masih di sini menunggu untuk dibawa pulang

Sampai sekarang saya masih merinding jika teringat kata-kata itu. Kami berdua sebetulnya dalam keadaan sadar, namun tidak mampu mengontrol pikiran.

Tertidur agak lama, akhirnya badan kami sedikit lebih segar dan dapat kembali melanjutkan perjalanan. Seolah kejadian tadi tidak pernah terjadi. Jalan sekitar 30 menit, samar-samar saya melihat tugu. Dan akhirnya kami sampai juga di puncak tepat pukul 19.30. Saya langsung lari ke tugu.

Ternyata di tempat tersebut ada juga pendaki yang telah mendirikan tenda yaitu kedua pendaki mahasiswa yang baru lulus. Yang sempat bertemu di Pos 2. Mereka berdua langsung menolong kami untuk mendirikan tenda dan membagi air mineral mereka.

Senang sekali ketika orang yang tidak kita kenal sama sekali justru care dan mau menolong. Itu adalah pelajaran yang berharga dari pendakian gunung. Be kind.

Karena bahan makanan justru dibawa oleh porter, kompor serta gas kami menjadi percuma. Untungnya saya baru ingat Ega bertugas membawa snack ringan. Puji Tuhan kacang telor menjadi santapan makan malam kami. Sungguh pengalaman yang tidak dapat dilupakan, di tenda kecil kami berdua saling berbagi kacang telor dan minum air putih yang sedingin air es.

Semua rasa sombong dan arogan saya ketika awal mendaki ke gunung ini berubah menjadi penyesalan. Jika saja saya tidak sombong pasti saat itu kami pasti sedang asik bercengkerama bersama keluarga.

Langit malam di puncak saat itu sangat luar biasa cantiknya, Milkyway menjulang tinggi di langit yang gelap. Bintang-bintang yang gemerlap. Bak ketombe yang jika diberi shampo pun tidak akan menghilang. Tetapi karena udara semakin dingin serta tubuh yang sangat lelah kami memutuskan untuk beristirahat. Singkat cerita keesokan paginya kami berdua bertemu dengan Mas Widi dan Mas Setyo di puncak.

Mereka bahkan dengan baik hati membantu untuk menemukan keluarga kami. Puji Tuhan dapat kembali berjumpa di sebuah warung dekat persimpangan jalan turun yang ada pemandian kramatnya. Suasananya sungguh membuat saya terharu.

Berhubung saya dan Ega masih belum puas dan ada rasa penasaran bermalam di sabana, akhirnya kami meminta ijin untuk extend 1 hari lagi di dekat Pos 5 sedangkan Om dan keluarga pulang kembali ke Karanganyar. Setelah packing dan membawa perbekalan yang layak meski hanya dengan tas ‘cantik’, kami berdua bermalam di sabana Tapak Menjangan.

Di sabana kami benar-benar lega karena dapat mendirikan tenda dengan suplai makanan serta minuman yang berlimpah. Meskipun jika dilihat raut muka Ega tampaknya sudah tidak ingin lagi mendaki bersama saya :D

Disadur dari blog lama saya di WordPress.com