Persiapan
Saya segera berkemas membawa 2 tas carrier karena akan mendaki bersama adik saya. Perlengkapan sudah dicek dan yakin lengkap tanpa ada kurang satu apapun. Saya sadar bahwa untuk kembali mendaki gunung membutuhkan perlengkapan yang komplit, jadi tidak hanya siap fisik.
Jangan sekali-kali meremehkan pendakian gunung. Karena pendakian yang akan kami hadapi adalah pendakian di atas 3000 mdpl dan di mana anggotanya hanya kami berdua. Sehingga membutuhkan persiapan yang matang.
Jumat pagi saya berangkat menuju bandara Halim Perdana Kusuma untuk mengejar penerbangan pukul 10.00. Tiket Citilink sudah disiapkan dilanjutkan dengan check-in. Masuk ke ruang tunggu namun jengkel karena sudah datang on-time tetapi terkena delay sekitar 30 menit tanpa kompensasi.
Tepat pukul 10.30 pesawat lepas landas dan mendarat di bandara Ahmad Yani Semarang pukul 11.15. Mengendarai taksi dari bandara menuju terminal Sukun dan melanjutkan perjalanan ke rumah dengan Bus Safari. Memakan waktu 45 menit hingga akhirnya benar-benar sampai di rumah. Senang sekali sampai di rumah yang penuh kehangatan, suasana dan atmosfernya.
Berbeda dengan ibukota apalagi kosan saya yang semakin hari semakin tidak terurus. Malam harinya kami kembali mendaftar barang-barang bawaan yang akan kami bawa di keesokan pagi. Sabtu subuh tepat pukul 05.00 saya bangun. Kami bergegas untuk packing dan berbagi tugas, saya bagian perlengkapan dan adik saya bagian konsumsi.
Berangkat Mendaki
Kami berangkat dari rumah tepat pukul 08.00 dengan mengendari motor. Menyempatkan sarapan terlebih dahulu di Soto Semarang di dekat Margosari. Naik gunung bukan hanya pikiran yang tidak boleh kosong. Perut juga tidak boleh kosong. Dapat berakibat lemas dan tidak bertenaga. Tidak tanggung-tanggung menambah porsi sarapan dengan menyantap Tahu Campur Pak Min yang cukup legend di Salatiga.
Setelah cukup sarapan, kami melanjutkan perjalanan dan mengambil jalur menuju Kopeng — Magelang. Jam di tangan telah menunjukan pukul 09.00. Cuacanya sangat cerah, terik matahari yang hangat dan tidak panas selama perjalanan membuat saya cukup excited. Dari Salatiga menuju Desa Suwanting harus menempuh jarak sekitar 30 km dan artinya sekitar 1 jam perjalanan dari Salatiga.
Selama di perjalanan dari Salatiga menuju Kopeng kami disuguhi pemandangan yang indah. Mulai kebun warga yang sedang panen, Salib Putih yang asri, hutan pinus yang hijau, Gunung Andong yang membuat saya terkenang kisah pendakian tahun 2015 silam. Udara dingin ‘menampar’ wajah. Rasanya memang Merbabu sedang menantikan kami.
Dari jauh Merbabu tertutup oleh awan lembut, seperti tersipu malu untuk bertemu. Jalanan kosong lengang sehingga kami sendiri merasa tidak perlu tergesa-gesa dan juga pemandangan yang sangat sayang untuk kami lewatkan jika terburu waktu. Jalan raya yang berkelok-kelok dan semakin menanjak membuat saya sendiri sedikit tegang dan harus extra hati-hati ketika berkendara.
Sekitar 30 menit lebih akhirnya kami sampai di Getasan, dari Getasan kami mengambil arah kiri untuk menuju Keteb Pass. Dari Getasan menuju Desa Suwanting berjarak sekitar 12 km. Dari jalan raya aspal mulus berubah menjadi jalanan yang rusak dan naik turun. Sempitnya jalanan turut menambah rasa waspada ketika mengendarai motor.
Harus extra hati-hati karena rawan terjadi kecelakaan. Hutan bambu di kanan kiri menjadi daya tarik tersendiri dan rimbunnya pohon menghilangkan rasa penat karena lelah berkendara. Akhirnya kami hampir sampai juga. Dari gapura menuju Base Camp Suwanting masih dapat ditempuh dengan sepeda motor. Hanya berjarak 10 menit. Jalanannya bukan aspal dan sangat sempit.
Sesampainya di Base Camp ternyata sangat ramai oleh para pendaki yang lain. Suasananya ‘pecah’, ramai karena kami tidak sendiri. Banyak tempat peristirahatan bagi para pendaki, tidak perlu terburu-buru untuk mendaki. Dipandu oleh para ranger, kami berdua mendaftarkan diri dan menitipkan kendaraan.
Di basecamp kami sengaja tidak makan siang karena masih kenyang. Hanya sekedar cek kembali barang bawaan. Cuacanya berawan dan cukup panas tetapi heran karena sinar matahari tidak terik menyengat. Kabut pun pelan-pelan sirna di siang hari itu. Kami dibekali peta oleh ranger dan dianjurkan untuk mematuhi peraturannya.
Memulai Pendakian
Setelah kami baca dan pahami, segera pamit untuk menanjak. Jalanan di desa Suwanting sangat ‘khas’ dengan suasana Jawa Tengah. Ranger dan penduduk yang ramah penuh senyum. Kami berdua menyusuri jalan setapak berbatu rapi, dan setiap bertemu dengan penduduk kami bertegur sapa.
Salam hangat khas penduduk lokal yang sering menanyakan “mas pinarak rumiyin?” dan memberikan semangat “bade munggah? ati-ati nggih” Kami berdua hanya sedikit berbicara untuk menghemat nafas dan berjalan santai melewati rumah penduduk. Selang 15 menit kami berdua melewati desa untuk menuju area perkebunan warga. Track via Suwanting dikenal cukup curam tetapi memiliki pemandangan yang memukau.
Meskipun ada yang bilang track lewat Tekelan jauh lebih ‘gila’ namun saya hanya ingin mencari jalur yang aman bukan jalur yang ‘gila’. Dari desa menuju start pendakian membutuhkan waktu sekitar 15–20 menit melewati jalan setapak berbatu rapi. Jadi tidak licin meskipun terguyur oleh hujan.
Setelah berjalan selama kurang lebih 20 menit dari perkebunan warga kami sampai juga di hutan pinus. “Kok ya sudah keringetan gini ya Yul?! Masih semangat ngga?“ Canda saya sambil mengelap keringat. Saya tertawa melihat wajah adik saya yang sudah mulai lesu. Hutan pinus merupakan penanda bahwa pendakian kami sebenarnya baru saja dimulai, berfoto sejenak di hutan sembari mengumpulkan tenaga.
Di peta semua jalur disebut dengan lembah termasuk nama posnya sehingga wajib untuk diperhatikan agar tidak disorientasi.
Area hutan pinusnya sangat luas dan jarak antar pohonnya sangat rapat sehingga beresiko tinggi untuk tersasar. Jangan sembarangan memotong atau membuka jalur sendiri, cukup ikuti jalur yang sudah disediakan. Kami berfoto-foto di dekat Pos 1. Suasananya sangat syahdu dan instagramable untuk segera diupload. Kami pun kembali melanjutkan pendakian.
Waktu menujukan hampir pukul 11.00 siang. Kami berjalan dengan santai. Hutan pinus yang rimbun dan sejuk serta aromanya yang wangi membuat saya malas untuk tergesa melewatinya. Track selama di hutan pinus berupa jalur tanah. Harus hati-hati ketika melangkah, pastikan sandal atau sepatu tidak licin. Selama di hutan pinus kami hanya berjumpa dengan segelintir pendaki.
Kami kira akan banyak yang mendaki di siang hari tapi ternyata sangat sepi. Ada baiknya sepi pengunjung karena tentu jalanan tidak akan ‘macet’. Tampaknya semalam Merbabu diguyur oleh hujan lebat. Jalurnya cukup basah namun tidak berlumpur. Cukup mudah untuk dilewati sehingga kami berdua tidak banyak berhenti. Hanya sesekali berhenti untuk menghela nafas dan mengatur ritme detak jantung.
Tidak terasa hampir 3 lembah telah kami lewati (lembah Gosong, lembah Cemoro, dan lembah Ngrijan).
Dari lembah Cemoro sebetulnya track sudah mulai terasa berat tanjakannya. Tidak terlalu curam, namun seperti anak tangga di dalam parit sempit yang harus terus didaki. Kanan kiri diapit oleh tanaman Cantigi khas pegunungan. Untung jalurnya masih terlihat jelas sehingga tidak perlu berasumsi akan lewat mana selanjutnya. Setelah melewati lembah Ngrijan kami berdua berhenti sejenak untuk beristirahat.
Tiba-tiba langit pun semakin mendung dan gerimis kecil. Tidak berani mengambil resiko kami segera mengenakan jas hujan. Para pendaki lain pun melakukan hal yang sama. Target kami adalah pukul 13.00 harus sampai di Pos 2. Perjalanan menuju Pos 2 semakin berubah drastis. Kami berdua disuguhi tanjakan batu dan tanah yang cukup curam, lutut bertemu dada.
Dari lembah menuju Pos 2 kami tempuh dalam waktu kurang lebih 30 menit. Cukup untuk membuat kami berdua kepayahan dan kelaparan. Beban carrier di pundak mulai terasa.
Hampir putus asa karena tanjakannya yang berat, ternyata di atas saya melihat pendaki yang lain sedang duduk-duduk santai. Saya pun berteriak “Yul itu di atas sudah Pos 2, ayo dikit lagi terus kita masak” Adik saya pun mengikuti sambil menghela nafas, memang harus sabar menghadapi medan bebatuan ini. Jika tidak sabar pasti hanya akan menambah rasa lelah.
Curamnya track turut menambah rasa waspada kami. Salah sedikit mengambil langkah maut bisa jadi menjemput. Di sebelah kanan kami terdapat jurang. Di bawah jurang terlihat hutan yang sangat lebat. Kurang dari 10 menit kami berdua sudah sampai di Pos 2 tepat pukul 12.50. Kondisi di Pos 2 sangat luas dan mungkin cukup untuk membangun 4–5 tenda besar. Sesampainya di Pos 2 kami segera menyiapkan peralatan untuk masak.
Belum 5 menit kami berdua memasak air untuk merebus mie instan, saya justru tidak sengaja menjatuhkan air mendidih. Untung mie instan belum dikeluarkan. Tiba-tiba langit benar-benar menjadi sangat mendung mulai gerimis, angin berhembus kencang, dan dinginnya menembus tulang. Seperti disentor AC dari segala arah.
Flysheet belum selesai dipasang dan packing kami diguyur oleh hujan lebat. Angin dan hujan kombinasi yang benar-benar ‘menyebalkan’ ditambah flysheet kami berdua yang belum terpasang sempurna. Dengan sangat terpaksa kami berdua menggunakan flysheet sebagai selimut untuk menutupi badan dan barang bawaan. Setelah 30 menit lebih hujan deras dan tidak berhenti kami berdua mulai menggigil kedinginan.
Flysheet yang sangat lembab membuat kami berdua merasa tidak nyaman, apalagi tanah yang basah membuat barang-barang di tas rentan basah. Justru hujan semakin menjadi. Setelah kurang lebih 1.5 jam kami menanti dan hujan sedikit reda akhirnya memberanikan diri untuk memperbaiki flysheet dengan dibantu oleh pendaki lain.
Di sinilah solidaritas antar pendaki terbukti benar adanya.
Setelah flysheet terpasang dengan benar, kami berdua segera kembali memasak Indomie dan makan dengan lahap.
Tidak mau membuang waktu takut hujan datang kembali. Langsung bergegas membereskan flysheet dan menuju lembah Manding. Perjalanan menuju lembah Manding tidak terlalu terjal. Namun karena hujan yang baru saja mengguyur, track tanah di sepanjang jalur menjadi licin serta gembur. Kami perlu extra berhati-hati. Dari Pos 2 menuju lembah Manding kami tempuh dalam waktu kurang lebih 15 menit.
Kami berdua tidak cepat namun yang penting konsisten. Lebih baik beristirahat untuk menghela nafas 1–2 menit lalu melanjutkan perjalanan selama 10 menit. Lembah Manding merupakan track terpanjang selama pendakian. Hampir tidak menemukan jalanan yang datar dan jalur yang berupa batuan.
Tracknya hutan rapat, pohon tumbang, jalur tanah, kemiringannya tidak tanggung-tanggung, perlu panjat memanjat (bahkan perlu bantuan tali agar tidak tergelincir), licin, gembur, banyak akar berseliweran, harus melewati parit, hampir tidak ada tangga tanah, dan penuh lumpur. Intinya semua yang para pendaki tidak ada inginkan justru semua menjadi satu lengkap tanpa kurang di lembah Manding.
Mental saya kembali diuji, teringat pendakian di Cikuray. Memang jika dibandingkan Cikuray maka jalur Suwanting masih lebih bersahabat. Tapi tetap saja saya benar-benar mengalami “5 detik melangkah, 30 detik istirahat” Dengkul benar-benar sangat nyeri. Pundak juga tidak kalah pegal, lihat adik saya juga nasibnya tidak berbeda jauh. Lagi-lagi kata sabar terngiang di kepala saya.
Sudah hampir 1.5 jam melangkah, Pos Mata Air masih belum juga terlihat. Ditambah gerimis-gerimis kecil yang tidak kunjung berhenti. Waktu telah menunjukan pukul 16.00, kami berdua merasa sangat jenuh. Formasi kami adalah saya berjalan di depan untuk menentukan track sedangkan adik saya berjalan mengikuti. Yang awalnya hanya saling berjarak 10 langkah menjadi 20 langkah.
Kami berdua sudah sempoyongan. Track masih juga belum berubah agar lebih bersahabat, monoton, dan tidak segera sampai. Benar-benar kesal jika ada pendaki yang sedang turun lalu teriak “Pos 3 tinggal 15 menit”, jangan dipercaya. Waktu sudah hampir pukul 17.00 dan akhirnya saya memutuskan untuk beristirahat sebentar sambil menunggu adik saya yang sedang bersusah payah menyusul.
Kami beristirahat sekitar 15 menit untuk mengambil momen sunset. Setelah sedikit pulih dari rasa lelah, kami langsung mengangkat carrier menuju Pos Mata Air. Akhirnya setelah konstan berjalan melewati rintangan-rintangan tersebut kami sampai juga di Pos Mata Air tepat pukul 18.15. Selama perjalanan menuju Pos ini sudah menghabiskan 1 botol air 1.5 lt dan 1 botol 600 ml.
Di Pos ini pun kami merefill botol-botol tersebut untuk cadangan air di Pos 3. Dari Pos Mata Air menuju Pos 3 sudah sangat gelap. Kami pun menghidupkan senter masing-masing. Track sudah tidak terlalu menanjak namun sangat panjang dan berkelok-kelok melewati Sabana yang cukup licin karena lumpur. Hanya dalam waktu 15 menit akhirnya kami sudah sampai di Pos 3.
Bermalam dan Menuju Puncak
Udaranya cukup dingin dan perut ini sudah sangat kelaparan. Tidak buang waktu kami segera mendirikan tenda tepat di bawah track menuju Sabana.
Untuk bermalam kami memilih area yang tidak terlalu banyak tumbuhan dan pohon. Kebetulan diingatkan oleh pendaki lain yang telah 2 hari mendirikan camp di area tersebut bahwa sedang rawan badai. Takutnya tenda tertimpa dahan atau pohon tumbang. Setelah tenda dan flysheet lengkap terpasang, kami berdua segera bersih-bersih badan tidak lupa mengganti pakaian.
Segera saya membuat minuman hangat dan memasak makanan. Mie instan kembali berjasa di malam itu. Malam yang dingin ditambah hujan deras membuat saya enggan membuka smartphone dan hanya memutar lagu. Segera beristirahat dan terlelap.
Saya sendiri tertidur dengan cukup pulas saking lelahnya, tetapi adik saya justru tidak dapat tidur nyenyak. Beberapa kali terbangun karena pegal lelah dan udara yang sangat dingin. Di luar tenda angin bertiup dengan kencang. Sekitar pukul 03.00 baru saya terbangun untuk mengecek keadaan di luar. Ternyata kabutnya sangat tebal. Mengurungkan niat untuk keluar dan memilih kembali beristirahat.
Sekitar pukul 05.30 kami bangun untuk segera memasak minuman hangat, kopi dan green tea latte tersaji harum.
Berbekal 1 botol air mineral dan camilan seadanya kami berdua dan beberapa pendaki dari Tangerang berangkat menuju Puncak Suwanting. Tanjakan dari Pos 3 menuju Sabana 1, Sabana 2, dan Sabana 3 tidak berat. Mungkin juga karena saya tidak membawa barang apapun selain kamera dan tripod. Saya lebih memilih untuk banyak bergerak agar tidak terlalu kedinginan.
Kabut menuju Sabana 2 dan Sabana 3 sangat tebal. Jarak pandang hanya sekitar 10–20 meter. Setelah kurang lebih 45 menit kami beranjak dari Pos 3 akhirnya sampai juga di Puncak Suwanting.
Cuaca tiba-tiba memburuk, angin berhembus sangat kencang dari arah bawah. Derasnya hujan, embun, kabut, angin semua menyembur ke arah kami yang saat itu sedang berada di puncak Suwanting untuk menuju ke puncak Trianggulasi. Awalnya tidak begitu masalah, tetapi lama kelamaan kulit terasa perih terkena dera air hujan yang kencang.
Angin semakin kencang dan saya sendiri hampir saja terpental terdorong angin. Kami sadar bahwa sedang terjadai badai. Kami semua jongkok dan mendekatkan diri antar satu dengan yang lain agar tidak terlalu kedinginan di sekitar pepohonan. Cukup lama kami berkumpul dan berlindung di area yang tidak terlalu terbuka.
Setelah dirasa cuaca benar-benar tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan, maka kami semua memutuskan kembali ke Pos 3. Bergegas turun menuju tenda dengan berlari kecil. Pakaian basah kuyup, seharusnya kami membawa jas hujan. Kami terburu-buru turun dari puncak tanpa berhenti dan tanpa beristirahat.
Sesampainya di Sabana 1 badai sedikit reda. Kami berdua segera masuk tenda dan berganti pakaian hangat. Sialnya ketika akan membuat minuman hangat ternyata kompor terlalu lembab dan tidak dapat menyala. Untungnya masih menyimpan cemilan untuk menambah kalori. Alhasil pagi itu kami berdua hanya sarapan cemilan seadanya tanpa makan berat.
Kami berdua kembali menghangatkan diri di balik sleeping bag. Angin dan hujan deras turun selama kurang lebih 2 jam lamanya. Setelah itu cuaca kembali cerah dan kami segera packing. Tidak memakan waktu lama, hanya dalam 20 menit semua perlengkapan kami sudah kembali masuk ke dalam tas. Dari kejauhan Gunung Merapi terlihat sangat megah.
Kembali Turun
Awan dan cuaca kembali cerah. Kami berdua segera turun dari Pos 3 menuju Pos Mata Air. Pada perjalanan turun tidak kalah sulitnya dengan ketika mendaki. Curamnya pijakan, dataran yang licin, tanah yang terlampau gembur, penuh lumpur. Tidak memungkinkan untuk berlari turun. Salah-salah justru saya yang terjatuh terguling.
Beberapa kali saya terpeleset. Paling parah ketika turun dari Pos Mata Air menuju lembah Manding, dari ketinggian 2 meter saya terperosok dan tergelincir sampai tangan saya memar terantuk dahan-dahan pohon demi menahan badan agar tidak terjun bebas.
Adrenalin saya benar-benar terpacu. Yang ada dipikiran kami berdua adalah “harus pulang sampai rumah dengan selamat” Adik saya pun juga mengalami banyak kesialan. Mulai dari terpeleset lumpur hingga kakinya lecet karena sepatu menggesek kulit di bagian tumit.
Selama perjalanan kami tidak banyak berhenti. Jika pun berhenti hanya untuk mengistirahatkan lutut dan paha selama beberapa menit. Kami juga sempat terpisah sedikit jauh, sekitar hampir 5 menit perjalanan. Track jalur tali-temali pun harus benar-benar harus dilakukan agar dapat turun dengan selamat. Kami berdua sampai di Pos 2 tepat pukul 16.00. Di Pos 2 kami memanfaatkan waktu untuk beristirahat selama 10 menit.
Kembali melanjutkan perjalanan, track menuju Pos 1 dihiasi oleh bebatuan yang licin dan jurang di sebelah kiri kami. Sesampainya masuk ke arah hutan pinus untuk menuju Pos 1 kaki saya sudah terasa sangat kaku dan paha sangat panas karena harus menahan beban selama track di Pos 3 dan Pos 2.
Latihan lari dengan pace di bawah 7 menit per kilometer sejauh 8 kilometer yang saya lakukan setiap akhir minggu terbayar sudah.
Persediaan air kami tersisa 1 botol dan dihabiskan di Pos 1. Selepas dari Pos 1 kami menempuh waktu kurang lebih 20 menit agar dapat sampai di basecamp. Tepat pukul 17.15 kami berdua sampai juga di basecamp dengan selamat meski penuh dengan lecet-lecet.
Tidak ingin membuang waktu setelah beristirahat sekitar 15 menit adik saya segera pesan nasi goreng dan jeruk hangat sedangkan saya langsung mandi tanpa makan. Air pegunungan terasa sangat menyegarkan. Lelah di badan langsung hilang. Pukul 18.00 lebih kami berdua undur diri dari basecamp Suwanting untuk kembali ke Salatiga.
Selama di perjalanan gerimis mengikuti kami hingga sampai di Salatiga.