Di awal bulan September ini Ari dan adiknya berencana hiking ke Gunung Guntur untuk test drive level fitness setelah rehat dari pendakian sebelumnya ke Rinjani. Saya pun akhirnya hanya menjadi tim hore agar pendakian tidak terlalu sepi. Tidak lupa mengajak Sukma dan Iqbal yang ternyata juga ingin ikut mendaki.

Bintang tamu pun diimpor dari jauh, Cornel teman satu kondo saya ketika di Malaysia ternyata menyempatkan pulang ke Indonesia demi pendakian ke gunung Guntur.

Sebetulnya ketika mendaki saya sedang ayang-ayangen atau istilah kata tidak pada moodnya. Kurang niat tapi dikarenakan juga belum pernah ke Guntur maka tidak ada salahnya mencoba, hitung-hitung menambah pengalaman. Perjalanan dimulai dari terminal Kampung Rambutan menuju terminal Guntur pada tanggal 16 kemarin.

Sepertinya mood saya hingga sekarang masih belum pulih. Karena jujur mengetik posting ini pun rasanya segera ingin ke bagian akhir. Singkat cerita dari terminal Guntur kami menyewa angkot bersama beberapa pendaki lainnya dan menuju gapura basecamp Gunung Guntur. Perjalanan disuguhi pemandangan gersang dan berpasir seperti gunung Semeru.

Tidak heran banyak orang bilang gunung Guntur adalah miniaturnya Semeru. Tetapi di tengah perjalanan banyak juga pemandangan yang hijau dan terdapat sungai. Mata air juga terdapat di pos terakhir dekat puncak.

Sebaiknya menggunakan masker dan kacamata karena angin yang kencang dapat menerbangkan partikel debu serta pasir. Sehingga dirasa cukup berbahaya apabila terhirup atau terkena mata.

Gunung ini termasuk gunung berapi yang aktif meskipun sudah lama tidak meletus. Ketinggiannya pun termasuk tidak terlalu tinggi, hanya berjalan santai selama 3.5 jam dari basecamp kami sudah sukses sampai di pos terakhir. Cukup ringan tanpa ada maksud menggampangkan dan tidak terlalu terjal seperti beberapa gunung yang saya pernah daki sebelumnya.

Karena kandungan pasirnya yang tinggi, Gunung Guntur sampai dengan saat ini digunakan untuk tambang pasir dan dikelola oleh pihak swasta.

Tetapi jangan salah, dari pos terakhir menuju puncak cerita di atas sangat berbeda. Medan berpasir yang sangat licin dan curam menjadikannya seperti simulator gunung Semeru. 2 langkah mendaki dibayar dengan 5 langkah turun karena terperosok lapisan pasir. Saya sendiri lebih memilih menggunakan sepatu untuk mendaki agar alas kaki tidak terlepas.

Kami mulai mendaki pukul 04.00 WIB. Di tengah jalan Ari dan adiknya memutuskan untuk kembali turun karena tampaknya kurang fit.

Sedangkan saya, Sukma, Iqbal, dan Cornel tetap melanjutkan perjalanan. Sejujurnya saya sendiri juga ingin turun bersama Ari. Karena di pendakian ini saya hanya ikut-ikutan. Tapi karena teman-teman mungkin merasa kesepian jadi saya memilih untuk tetap lanjut. Tidak sampai 2 jam dari pos terakhir saya akhirnya sampai.

Tidak dapat sunrise karena jamnya pun sudah terlewat. Tapi tetap saja pemandangan di atas layak untuk dinikmati.

Untuk mendaki ke puncak saya membawa tas kecil dengan sebotol air mineral besar agar tidak dehidrasi, penerangan di pagi buta menggunakan lampu senter iPhone 6S yang ditutupi layarnya dengan kain agar tidak baret karena debu halus.

Selepas jalur pasir terdapat jalan setapak yang tanahnya padat. Sangat kontras dengan yang baru saja kami lewati. Dari jalan setapak tersebut terdapat hamparan padang sabana yang sangat luas. Namun tidak disarankan mendirikan tenda di tempat ini karena terlalu terbuka dan anginnya kuat. Lagipula saya tidak yakin membawa carrier berat untuk melewati jalur menuju puncak karena terlalu beresiko.

Sebagai info penting bawa barang berharga ketika mendaki ke puncak dan jangan ditinggal di tenda.

Setelah asik berfoto ria di atas kami kembali turun. Di perjalanan turun turut menjadi medan perjuangan yang mendebarkan. Ingin berlari tapi takut terguling karena terlalu curam. Ingin berjalan lambat tetapi justru akhirnya terperosok pasir. Sehingga saya lebih baik merangkak pelan-pelan yang penting selamat.

Untuk tipsnya, ketika mendaki ke puncak lebih baik ambil jalur di sebelah kanan yang terdapat tanaman. Karena jika terdapat tanaman berarti ada tanah yang cukup padat untuk dipijak. Sedangkan untuk turun dapat melewati bagian sisi kiri atau ke tengah sekalian. Karena pada sisi tersebut terdapat undak-undakan kecil yang dapat menahan diri kita apabila terperosok.

Saya sebal sekali banyak pendaki yang saya rasa sangat sok-sokan dengan berlari lalu berseluncur. Sangat berbahaya apabila menubruk pendaki lainnya, debu dari hasil perosotan mereka pun juga terbang berhamburan mengenai mata. Sungguh ndeso dan tidak elite menurut saya.

Kesimpulan dari pendakian di Guntur, saya bersyukur atas kesempatan masih dapat mendaki. Apalagi adalah pengalaman pertama saya ke Guntur. Meskipun entah kenapa sampai dengan sekarang saya masih merasa tidak mood dan jengkel. Apakah mungkin justru dikarenakan terlalu banyak berlibur dan kurang bekerja? #eh