Kopi adalah minuman yang umumnya diolah dengan cara diseduh, berwarna hitam pekat serta terasa pahit adalah ciri khasnya. Bagi para penikmatnya mungkin tidak lagi membutuhkan gula untuk mengurangi rasa pahit. Karena dapat merasakan sensasi rasa ‘lain’ seperti manis, asam, fruity dari berbagai jenis biji serta tergantung dari cara penyajiannya.

Mungkin saja kopi instan tidak lagi menarik ketika telah mengenal bermacam jenis kopi dan menemukan selera penyajian yang pas. Tidak sengaja bertemu dengan komunitas penikmat kopi di ibukota dan mengunjungi produsen lokal di Jawa Timur ketika berwisata, saya berdiskusi dan berkenalan dengan beberapa jenis kopi.

“Hidup ini seperti secangkir kopi, di mana pahit dan manis melebur, bertemu dalam kehangatan”, begitulah kutipan film Filosofi Kopi yang mengasosiasikan antara secangkir hangat minuman berwarna hitam tersebut dengan filsafat kehidupan. Menelisik sisi positif dari ungkapan tersebut, sedih dan bahagia itulah yang membuat hidup terasa nyata. Berproses.

Menikmati kopi dengan komunitas sahabat @edukopi_id di salah satu persinggahan di kota Jakarta adalah awal mula saya paham bahwa dari kopi tidak hanya rasa manis dan pahit yang itu-itu. Tergantung dari cara pengolahannya.

Mendapatkan rasa nyaman adalah salah satu kenapa banyak orang menjadi penikmat kopi. Rasa nyaman tersebut berasal dari kandungan kafein pada kopi. Varietas kopi menjadi penentu kadar kafein seperti misalnya Robusta, Arabica, Liberka memiliki kadar kafein yang berbeda. Menurut jurnal yang saya baca, Liberika dan Robusta memiliki tingkat kafein yang lebih tinggi dari pada Arabica, hanya saja kadar kafein yang terlalu tinggi pun tidak menentukan pasti lebih enak untuk dinikmati.

Kadar kafein yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pusing bagi beberapa orang dan menjadi racun.

Tidak heran jika tumbuhan kopi sifatnya tahan hama karena tingkat kafein yang tinggi dapat menjadi pestisida alami. Karena kadar kafein dari jenis Robusta lebih tinggi dari Arabica, tumbuhan Robusta menjadi lebih tahan dari serangan hama dan harganya pun akan relatif lebih murah dari Arabica. Mayoritas tanaman kopi yang sering ditanam oleh petani di negeri ini berjenis Arabica dan Robusta.

Indonesia memiliki banyak daerah perkebunan kopi dengan variasi ketinggian yang berbeda. Ketinggian turut menentukan tingkat acid atau keasaman dari biji kopi yang dihasilkan. Dari beberapa sumber yang telah saya baca untuk tumbuhan kopi Arabica dapat tumbuh di ketinggian 700–2000 meter dengan suhu 15–25 derajat celcius. Sedangkan Robusta sendiri dapat tumbuh di ketinggan 200–1000 meter dengan suhu maksimal 30 derajat celcius.

Perbedaan antara Arabica dan Robusta, Arabica akan cenderung menghasilkan asam yang lebih tinggi sedangkan Robusta cenderung menghasilkan rasa pahit. Selain itu kandungan glukosa pada Arabica juga lebih tinggi dari Robusta.

Menurut Firman pada dasarnya setiap jenis biji kopi memiliki ciri khas flavornya masing-masing. Sehingga tidak hanya rasa manis, namun juga dapat merasakan berbagai aroma lainnya. Seperti yang disuguhkan oleh sahabat @edukopi.id yaitu Kopi Kintamani khas Pulau Dewata atau Bali ternyata tidak hanya rasa manis dan pahit namun ada aroma rempah-rempah yang terasa sedikit pedas serta aroma jeruk.

Cita rasa kopi turut dipengaruhi oleh tanaman yang tumbuh di sekitarnya, begitulah penjelasan sederhana dari Firman. Pemahaman teknis dari cara sangrai biji kopi turut menjadi hal yang perlu diperhatikan ketika berbelanja kopi. Sangrai biji kopi dengan light, medium, atau dark roast serta tanggal roasting menentukan kesegaran, tekstur, aroma, dan warna kopi.

Kekuatan aroma kopi memiliki umur sehingga pada umumnya kopi yang disimpan terlalu lama semisal satu bulan aromanya tidak sekuat kopi dengan umur sangrai 4–7 hari. Tentang umur sangrai 4–7 hari terdapat penjelasan, “menikmati kopi yang baru saja disangrai pun tidak selalu lebih nikmat karena kopi memiliki fase degassing, dalam rentang seminggu setelah proses sangrai maka degaassingnya telah selesai“ tutur Pak Iwan seorang produsen kopi di Banyuwangi.

Kembali tentang cita rasa, beberapa brand olahan biji kopi menyajikan rasa yang unik. Saya mendapatkan kesempatan untuk mencoba kopi yang memiliki aroma dan rasa coklat, mangga, dan berbagai aroma lainnya. Di daerah Glenmore Banyuwangi para petani kopi menyandingkan kopi dengan coklat, sehingga biji kopi yang dihasilkan akan menghasilkan aroma coklat ketika diseduh.

Kadar air dari setiap biji kopi yang dikeringkan sangat menentukan kualtisnya. Sayangnya terdengar cerita dari para petani Glenmore yang seringkali dikarenakan permintaan tinggi pasar yang tidak berimbang dengan hasil produksi akhirnya berujung pada tidak optimalnya pengolahan. Biji kopi yang seharusnya dapat kering dan minim kadar air harus segera diolah padahal masih tergolong ‘basah’ sehingga mengakibatkan kualitas olahan tidak optimal.

Yang terpenting setelah pengolahan adalah cara penyimpanan biji kopi. Seringkali masyarakat kurang menyadari bahwa kopi tidak boleh terpapar oleh oksigen secara langsung karena dapat merusak rasa akibat lembab. Perlu disimpan di dalam penyimpanan yang kedap udara dan kering. Jika tetap disimpan di dalam bungkus perlu dipastikan agar tidak dalam kondisi menggembung.

Tentang penyajian kopi, kali pertama bagi saya melihat dan merasakan sajian kopi luwak dengan teknik V60 ketika icip-icip di sebuah kedai kopi franchise Excellso. Kopi yang dihidangkan oleh barista sangat terasa berbeda dengan cara seduh saya yang pastinya awam. Maklum hanya dapat menyeduh dengan ala tubruk itupun ala kadarnya seperti menyeduh kopi instan. Kesalahan nomor satu cara penyajian yang sering saya lakukan adalah tentang suhu.

Suhu menentukan rasa, jangan pakai air panas dari dispenser karena suhu yang tidak pas dapat menyebabkan aroma kopi tidak keluar dengan baik. Gelas pun juga harus dipanaskan sebelumnya karena perubahan suhu yang drastis dapat merusak rasa dari kopi yang telah diseduh“ penjelasan dari Pak Iwan.

Ternyata suhu adalah salah satu kunci dari proses ekstrak sari kopi, suhu air 95–96 derajat adalah rata-rata suhu yang disarankan.

Selain itu adalah jumlah air dan lamanya waktu ketika menyeduh harus sebanding dengan bobot kopi yang akan dihidangkan. Karena jika tidak tepat maka pemrosesan kafein keluar dari biji kopi tidak akan maksimal (antara kurang atau justru over extraction). Itulah mengapa diperlukan proses penimbangan serta perbandingan antara biji kopi dan air.

Cara penyajian dapat disesuaikan dengan selera masing-masing penikmat. “Sebisa mungkin tidak memberikan gula ketika menyeduh kopi, disinilah peran lidah sangat diperlukan“, saya sendiri adalah penikmat kopi amatir yang rewel dengan rasa asam. Namun Pak Iwan menyarankan untuk merasakannya terlebih dahulu, beliau memberikan tips ketika dirasakan asam yang berlebih baru diperbolehkan untuk menambahkan gula sedikit demi sedikit untuk mengurangi pekatnya asam.

Beda selera maka berbeda perangkat untuk penyajian kopi, bersama sahabat komunitas saya merasakan 3 cara pengolahan kopi yang berbeda. Firman menyajikan seduhan espresso, lalu dilanjutkan Ujang dengan khas pourover drip V60nya, dan terakhir adalah cold brew. Pourover drip V60 yang disuguhkan ada dua jenis, yaitu ice dan non-ice. Keduanya memiliki ciri khas masing-masing, karena terkadang dengan diberikan es batu maka akan mengeluarkan rasa unik tersendiri dari kopi yang disajikan.

Secara pribadi, cold brew adalah favorit saya. Kenapa cold brew? Karena memerlukan kesabaran menunggu selama 6–8 jam proses pendinginan kopi dan penuh dengan kejutan, antara justru menjadi tidak enak atau justru sangat enak tentunya. Peralatan yang digunakan tidak selalu yang mahal dan berupa mesin berukuran besar. Berdasarkan info dari Ujang di website belanja kopi online seperti Otten menyediakan peralatan individu seperti french press, handpress, coffee drip, dan grinder yang dapat diletakkan di dapur dengan ukuran minimalis.

Untuk menyajikan espresso Firman menggunakan handpresso yang dapat menyajikan 1–2 shot sloki. Ekstrak kopi terasa lebih kental, kontras dengan racikan drip V60 Ujang yang terasa lite. Namun keduannya sama-sama terasa enak. Di Banyuwangi tepatnya di sanggar Genjah Arum asisten Pak Iwan menyuguhkan kopi Kopai Osing yang terkenal dan dapat disimak di beberapa artikel internet.

Kopi dengan seduhan ala french pressnya sangat terasa asam dan pas ketika dicampurkan dengan gula aren karena menghasilkan sensasi legit di lidah menurut beberapa orang. Suguhan dari teman-teman komunitas jarang menggunakan gula dan di situlah lidah semakin dapat merasakan rasa sirup, buah-buahan, dan terkadang ada wangi khas seperti bunga ala teh ketika saya mengicip kopi Ethiopia Sidamo milik Ujang.

Menunggu proses penyajian memang tidak cepat, butuh waktu hingga kurang lebih 5 menit dari memanaskan air dan gelas, memilah kopi, grinding, menimbang, dan menyeduh. Kontras dengan kopi instan yang tidak sampai 2 menit telah siap dihidangkan. Di dalam bahasa Jawa terdapat istilah “kumpul gayeng” yang berarti berkumpul bersama itu menyenangkan. Seperti slogan yang terdapat pada bungkus kopi Kopai Osing yaitu “Once Brew We Bro

Jadi antara yang instan dan butuh kesabaran untuk menikmati, sahabat lebih memilih yang mana?

PS : Postingan ini tidak ada afiliasi dengan endorse produk, murni karena bangga dengan produk kopi Indonesia! :D