Di bulan September yang lalu rencana berlibur ke Bali bersama “anak komplek” akhirnya dapat direalisasikan. Setelah sempat mundur 2 bulan dari rencana awal karena susahnya mengumpulkan anggota. Apalagi saya juga dikejar deadline di kantor. Sempat mengubur keinginan untuk jalan-jalan jika harus pergi tanpa Grace yang sedang sakit. Namun setelah mendapat restu dari Grace dan deadline yang sukses terpenuhi, saya pun langsung memberi kabar anak komplek dapat ikut ke Bali.
Sukma dan Iqbal terlebih dulu berangkat karena sudah ada rencana tracking ke gunung. Sedangkan saya, Ari, Firman, dan Nia menyusul H+1. Titik kumpul awal kami berempat di Bandara Soekarno Hatta. Tidak ingin mengulang kesalahan saya tahun lalu ketika berangkat ke Bandung, maka malam sebelum keberangkatan tidur tepat waktu. Beruntungnya saya pun tidak terlambat bangun karena dialarm telepon oleh Grace. Tidak lama saya langsung mandi dan berangkat ke Bandara dengan taksi.
Sebal sekali sesampainya di Bandara justru koper saya rusak. Karet roda terlepas sehingga harus dijinjing padahal lumayan berat. Di Bandara sudah ada Ari, kami berdua bersantai di KFC sembari menunggu Nia dan Firman. 20 menit kemudian kami semua telah berkumpul dan check-in untuk boarding. Penerbangan ke Ngurah Rai dimulai. Sesampainya di Bandara kami dijemput oleh Sukma dan Iqbal. Tujuan pertama kami adalah mencari sarapan karena mulai lapar.
Nasi Tekor
Credit to Ari Adiprana
Di tempat ini pemiliknya sepasang suami isteri yang sangat ramah. Suasana tradisional dan cukup rindang karena banyak pohon. Makanan yang disajikan pun enak sekali, khususnya sate lilit ayamnya. Lengkap dengan sayurnya dengan rasa rempah dan sambalnya sedikit pedas khas makanan Bali. Kami juga menyempatkan foto bersama bapak pemilik tempat kedai sebagai tanda kenang-kenangan pernah mampir. Sarapan di tempat ini ketika pagi merupakan keputusan yang tepat karena masih sepi pengunjung.
Coffeeshop Kintamani
Kami tidak berlama-lama dan segera berangkat ke daerah Kintamani untuk menikmati kopi dari ketinggian. Perjalanan menuju Kintamani melewati daerah pegunungan yang berkelok-kelok. Saya pun terlelap sepanjang perjalanan menuju Coffeshop. Entah kenapa mata berat mungkin karena masih merasa kurang tidur. Sesampainya di Coffeshop, disuguhi oleh bentang alam yang luar biasa cantiknya.
Di tempat ini saya pesan 2 jenis minuman kopi sekaligus. Yaitu Americano dan V60 blend dengan biji kopi khas Kintamani. Rasanya segar sekali ditambah minum es kopi ketika cuaca sedang terik-teriknya. Di tempat ini juga ramai dengan pengunjung. Tetapi untungnya kami masih dapat tempat duduk dan bersantai di indoor. Sebaiknya menyiapkan tabir surya apabila ingin bersantai di outdoor.
Badan dan pikiran saya pun kembali segar setelah minum es kopi, rasa kantuk hilang sekejap. Dari tempat ini kami melanjutkan perjalanan ke Air Terjun Sekumpul. Tidak terlalu jauh dari Kintamani dan searah dengan tujuan kami selanjutnya di Pura Ulun Danu Beratan. Mobil yang dikendari oleh Sukma melaju dengan cepat. Selama perjalanan agar tidak mengantuk kami bernyanyi bersama dan banyak berbagi cerita serta gosip.
Air Terjun Sekumpul
Akses menuju wisata air terjun jalannya cukup bagus hanya saja perlu berhati-hati karena khas jalanan di pegunungan yang meliuk. Untungnya saya tidak mudah mabuk darat. Setelah sampai dan parkir kami pun langsung berjalan menuju Air Terjun Sekumpul. Ternyata untuk menuju air terjun harus tracking terlebih dahulu. Jalur trackingnya melewati perkampungan dan jalur tanah. Tidak disangka ternyata harus berjalan jauh sekitar hampir 30 menit untuk sampai di pintu air terjun.
Dari pintu masih harus turun menuju ke dasar melewati anak tangga, mengingat effortnya yang kurang bersahabat untuk berlibur santai maka kami urun untuk turun ke bawah. Dapat turun tapi nanti kembali naik pasti lumayan lelah. Ditambah kondisi badan yang sebetulnya kurang istirahat. Di tengah perjalanan kami memilih berhenti dan foto-foto dengan latar belakang Air Terjun Sekumpul.
Pura Ulun Danu Beratan
Dari air terjun kami melanjutkan perjalanan menuju Pura Ulun Danu, jam di tangan sudah menujukkan pukul 14.00 WITA. Estimasi tiba sekitar pukul 16.30 WITA. Di sepanjang perjalanan langit tampak mendung. Kami berharap agar sesampainya di tujuan jangan sampai kehujanan. Saya sendiri berharap dapat menikmati sunset dan mengambil foto Pura yang terkenal dengan danaunya yang cantik tersebut. Tepat sesuai waktu kami pun sampai di tempat dan langsung menuju ke Pura untuk menikmati pemandangan.
Pura yang terkenal dan menjadi model untuk uang lembar kertas Rp. 50.000,- ini memang sering dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Berbagai pengunjung dengan bermacam bahasa. Saya berjalan terpisah dari teman-teman yang lain dan mencari spot foto yang sempat dikumpulkan dari Instagram. Kebetulan karena cuacanya yang mendung maka sinar matahari sangat minim. Memungkinkan saya untuk menggunakan teknik long exposure ketika mengambil gambar.
Beberapa titik saya sambangi untuk mencari komposisi gambar yang tepat. Mengambil foto sebanyak yang saya bisa. Saya sempat salah mengira belum pernah mengunjungi Pura Ulun Danu, ternyata pengalaman pertama saya mengunjungi tempat ini adalah ketika SMA. Entah kenapa saya mengira Bedugul itu tempat yang berbeda. Itulah kenapa dokumentasi itu sangat penting, setidaknya menjadi pengingat serta media yang dapat dikenang. Seandainya dulu lebih memilih Flickr untuk backup data daripada Friendster :(
Ketika Friendster tutup layanan, maka begitu pula semua foto studi tour ke Bali tahun 2007 yang saya unggah ikut ditutup.
Karena sudah maghrib kami makan di warung makan Ayam Betutu di seberang komplek Pura. Melanjutkan perjalanan ke penginapan kami untuk segera beristirahat. Hari pertama tidak boleh terlalu diforsir agar badan tidak drop. Pemandangan serta suasana di penginapan kami sangat terasa seperti kampung wisata. Khas Bali di mana terdapat pura kecil di pelataran rumah. Dikelilingi dengan sawah milik warga. Fasilitasnya cukup lengkap, terdapat kolam renang yang bersih. Kamar mandinya ada di setiap kamar sehingga tidak perlu antri untuk menggunakannya.
View Homestay
Nusa Penida
Hari kedua adalah trip Nusa Penida yang kira-kira memakan waktu 1 hari penuh. Berangkat di pagi hari menuju Sanur kami membeli tiket kapal yang akan mengantarkan kami menuju dermaga di pulau Penida. Suasananya cerah pagi itu, saya menyempatkan membeli kopi panas di sebuah kedai kopi agar tidak terlalu mengantuk, kopinya enak sekali. Nama menu kopinya adalah kopi arjuna. Yang akhirnya ketika pulang dari Nusa Penida saya kembali membeli kopi di tempat ini.
Perjalanan dengan kapal berkecepatan tinggi membuat perut saya tidak terasa enak. Akhirnya memutuskan untuk tidur selama perjalanan. Tegang dan sedikit phobia berada di tengah laut membuat saya tidak dapat tenang. Kurang lebih 30 menit perjalanan mengarungi laut akhirnya sampai di Pulau Penida. Nusa Penida tidak seperti dugaan saya. Ternyata lahannya sangat luas dan terdapat beberapa desa.
Dominasi pohon kelapa serta pisang di sepanjang jalan membuatnya tampak eksotis khas negeri yang berada di garis khatulistiwa.
Di Nusa Penida terdapat jasa trip dengan menggunakan mobil Suzuki APV sudah termasuk driver pemandu untuk mengantar. Berhubung anggota perjalanan kuotanya mencukupi untuk satu mobil, kami dapat langsung diantar tanpa menunggu penumpang yang lain. Akses di tempat ini berupa jalan tanah dan bukan jalur offroad. Sehingga aman bagi pengunjung yang lebih memilih untuk menyewa motor.
Tebing Nusa Penida adalah destinasi pertama yang kami kunjungi diikuti dengan obyek wisata pantai lainnya. Jumlah pengunjung yang tidak banyak serta bersihnya obyek wisata membuat pengalaman pertama saya di tempat ini sungguh berkenan dan menyenangkan. Efek penatnya rutinitas selama di ibukota langsung hilang. Sangat cocok apabila kita ingin bermeditasi dan relaksasi melalui liburan bersama alam.
Harga makanan dan minuman di tempat ini masih masuk akal meskipun jelas lebih mahal dibandingkan dengan di Denpasar. Apalagi didominasi oleh turis asing sehingga ada sedikit “kurs” harga. Ada baiknya juga menyiapkan bekal minum agar tidak dehidrasi selama menempuh perjalanan di Nusa Penida. Saya sendiri membawa 2 botol air mineral agar dapat fokus. Cuacanya cerah berawan dan terik matahari yang menyengat kulit.
Setidaknya kami mengunjungi 3 pantai yang berada di Nusa Penida. Jarak satu pantai dengan pantai lainnya tidak terlalu jauh. Sekitar 10 hingga 15 menit dengan perjalanan darat. Sebetulnya juga tersedia fasilitas seperti banana boat, namun dikarenakan tidak banyak membawa pakaian ganti kami mengurungkan niat untuk basah-basahan. Paling hanya sekedar bermain air di pantai dan berjalan menelusuri indahnya pasir putih yang berada di tempat ini.
Di pantai Angel Billabong menyuguhkan pemandangan yang sangat mempesona. Hamparan laut dihiasi oleh arsitektur alam membuatnya berbeda dari pantai-pantai yang berada di pulau Jawa. Batuan karangnya membentuk bangunan serta fondasi yang uniks sepert misalnya jembatan yang ada pada foto di bawah ini. Semoga tidak akan hilang karena abrasi daratan seperti yang terjadi di Pulau Jawa. Karena batuan karang ini juga yang menjadi penahan ombak agar tidak masuk ke area warga sekitar.
Teringat perjalanan tahun lalu di pantai Laguna Lampung yang memiliki kolam-kolam kecil pada karangnya. Di pantai ini saya dapat menikmati pemandangan yang sama. Airnya biru jernih dan saya memnyempatkan untuk bermain mencari ikan serta kepiting-kepiting kecil di sekitar pantai. Alangkah baiknya apabila tidak membuang sampah sembarangan, kebersihan tempat ini harus kita jaga bersama agar kelak dapat dinikmati juga oleh anak cucu.
Seusai berpuas diri bermain di Nusa Penida, pukul 16.30 kami dijemput oleh driver untuk kembali ke dermaga. Kembali menuju pantai Sanur di seberang. Di pantai Sanur seperti di bagian awal. Saya menepati janji untuk kembali menyeruput nikmatnya Kopi Arjuna yang tersaji panas bersama sobat perjalanan. Kopi dan senja, paduan syahdu mainstream khas anak Indie. Terimakasih Nusa Penida untuk keindahan alamnya.
Bali Pulina dan Desa Wisata Penglipuran
Setelah 2 hari berada di satu penginapan yang terasa sungguh homey, pagi-pagi sekali kami harus beranjak pamit untuk melanjutkan liburan kami ke Desa Wisata Penglipuran. Adalah sebuah ketidak sengajaan ketika menuju Desa Wisata, kami melewati Tegallalang Ricefield. Tidak ingin kehilangan momen maka disempatkanlah waktu untuk mampir sebentar hanya untuk menikmati keindahan teraseringnya. Tidak heran banyak yang mengatakan berfoto di tempat ini sangat Instagramable.
Terdapat banyak panggung foto kekinian untuk mengabadikan momen yang dibangun oleh warga. Di pinggir jalan turut terdapat stand kerajinan tangan sehingga apabila tertarik untuk mencari oleh-oleh mungkin dapat membelinya di tempat ini. Harganya relatif murah dan dapat membantu perekonomian UKM di Bali. Saya sendiri membeli piyama untuk Grace di tempat ini.
Tidak jauh dari terasering di peta menunjukkan sebuah tempat untuk mencari makan siang. Tepatnya di sebuah venue pengolahan kopi dan tempat bersantai bernama Bali Pulina. Karena kebetulan saya, Ari, dan Firman adalah penikmat kopi garis keras maka kami juga menyempatkan bermain ke venue tersebut. Venue tersebut memiliki area yang sangat luas. Terbagi ke beberapa section yaitu toko cindera mata, toko oleh-oleh, restauran, dan wisata pengolahan kopi.
Dikelilingi oleh terasering sawah membuat tempat ini terasa sangat sejuk dan adem selama mata memandang sekitar. Apabila ada yang membutuhkan “terapi mental” selama di Bali, saya sangat merekomendasikan untuk singgah barang sebentar. Kami pun ditawari oleh pramuniaga sebagai tester kopi dan teh yang dijual di tempat ini. Untuk makanan di tempat ini tidak terlalu khas ala bali karena menjual makanan barat. Mungkin karena menyesuaikan dengan citarasa para pengunjung yang rata-rata berasal dari luar Indonesia.
Set Tester Olahan Kopi dan Teh
Dari venue menuju Desa Wisata tidak terlalu jauh berdasarkan Google Map. Di Desa Wisata kami hanya berjalan-jalan mengitari sembari menghabiskan jam siang. Perumahan warga yang tampak tradisional menjadi cirikhas tempat tinggal warga di desa ini. Tracking di sektiar desa kami juga disuguhi hutan bambu yang tampak cantik. Tidak terlalu lama singgah karena sore nanti sudah harus menonton tari kecak di Tanah Lot yang harus ditempuh selama 2 jam perjalanan darat.
Tari Kecak
Tidak sah rasanya apabila belum menyaksikan tari kecak di Pulau Dewata. Dengan menggunakan reservasi online, tiket pertunjukkan sudah ada di tangan. Betapa baiknya digitalisasi dengan teknologi apabila dapat mempermudah proses yang tadinya serba manual menjadi lebih efisien. Di tanah lot kami menyaksikan pertunjukkan bersama wisatawan lain di sebuah halaman yang ada di pura.
Harus cepat agar mendapatkan tempat duduk. Apabila sedikit terlambat saja maka harus duduk lesehan. Tari kecak di tempat terbuka membuat suasananya meriah di bawah langit yang berwarna jingga karena mulai sore. Ada satu hal yang cukup principle bagi saya selama di pertunjukkan adalah kebersihannya. Terpampang dengan jelas dilarang merokok. Sehingga membuat nyaman tanpa takut ada asap yang berseliweran.
Lagu-lagu yang disenandungkan dan suara-suara “a capella” yang diperdengarkan dari para seniman tersebut sangat harmonis. Berpadu dengan tarian-tarian dan sedikit mengagetkan ketika mulai berteriak “cak…kecak…” Ada hawa yang entah kenapa sedikit mistis namun dikarenakan adalah sebuah bentuk budaya, atmosfernya membuat saya ikut terhanyut. Kisah yang dibawakan di tari kecak sendiri adalah tentang Rahwana versus Hanoman.
Pentas ini membuat saya teringat kisah tersebut pada buku karangan Sindhunata.
Aksi Hanoman melawan Rahwana sangat seru. Konyol sekali tingkah laku pemeran Hanoman yang beberapa usil kepada para penonton. Sayang sekali dikarenakan baterai kamera saya lowbat tidak terlalu banyak merekam gambar. Untungnya ada Ari yang sempat mengabadikan foto bersama Rahwana.
Garuda Wisnu Kencana dan Melasti
Sebelum kembali ke Jakarta di hari terakhir untuk penerbangan sore, kami menyempatkan diri untuk mampir ke Garuda Wisnu Kencana (GWK) dan pantai Melasti. Mengenang masa-masa SMA pertama kali ke tempat ini. Ternyata patung Garuda dan Dewa Whisnu yang saya lihat sedang dibangun pada tahun 2007, kini sudah nampak menjulang tinggi. Meskipun masih belum selesai 100%.
Dari GWK kami melanjutkan ke pantai Melasti karena merupakan ide Nia untuk mengambil gambar ala-ala Instagram yang sedang hits. Yaitu adalah berfoto di jalur yang diapit oleh 2 tebing tinggi. Namun di tempat ini ternyata ramai dan sering digunakan untuk ambil gambar pre-wedding. Nampaknya tidak hanya kami yang ingin berfoto ala-ala Instagram di pantai ini.
Dari pantai kami melesat menuju bandara untuk mengejar penerbangan pukul 18.00 WITA. Boarding menuju pesawat adalah sebagai penanda selesainya liburan selama 4 hari 3 malam di Bali. Saya pun juga sudah sangat rindu kepada Grace. Semoga dapat kembali mengunjungi Bali bersama Grace di liburan berikutnya. Terimakasih Bali, benjang kacumduk malih.