Credit to Unsplash

Beberapa draft hasil ketikan di blog menumpuk dan terbentur rasa malas untuk melanjutkan. Terasa ada yang kurang sreg untuk menekan tombol publish setelah membaca ulang tumpukan draft tersebut. Aneh, padahal ide sudah terbesit mantap tapi entah kenapa ketikan jari tidak sinkron dengan perasaan.

Owalah setelah saya cek membaca kembali dengan seksama, ternyata inti dari tulisan saya tidak tersampaikan dengan cara yang tepat. Merefresh ulang tapi masih buntu, kenapa tulisan saya terlihat sangat bertele-tele. Saya sadar tidak sebaik mama dalam menorehkan tulisan, tapi saya suka dengan blogging.

Kalau saya kembali mengingat, berbagi coretan di weblog pribadi adalah hal terbaik pertama yang dulu selalu saya lakukan sebelum posting di Instagram. Dulu saya suka sekali mampir ke blog orang lain dan baca-baca tulisan atau minimal main ke forum Kaskus. Membentuk pola pikir untuk mencerna informasi.

Selalu ada yang menarik untuk diikuti, ada yang menarik juga untuk diperdebatkan namun tidak dengan bentuk frontal bumbu brutal. Dulu saya suka sekali membaca buku-buku novel karangan Tere Liye yang selalu sukses memberikan rasa tenang dan haru. Membaca novel thriller yang membuat saya bergidik dan mindblowing.

Membaca buku tentang kisah pewayangan yang membuat saya selalu mengulang-ulang kalimat yang bagi saya susah untuk dipahami jika hanya dengan sekali membaca. Musashi dan Winnetou yang menemani masa remaja untuk berpetualang serta merantau. Saya menikmati membaca, maka dari itu pula saya menikmati untuk menulis.

Ya itu dia, saya kurang membaca. Ada yang tidak seimbang dalam pola hidup. Saya terlalu banyak mengetikkan baris koding, saya terlalu banyak mendikte orang lain juga untuk menuliskan instruksi komputasi, bahkan cenderung hyperverbal yang membuat isteri sangat sebal jika saya kambuh.

Sangat tidak baik, dengan ditambah gaya hidup sosial media yang praktis membuat saya lengah. Instagram, di mana banyak informasi berseliweran hanya dengan secuil visual tanpa banyak literasi. Tidak baik juga jika saya salah dalam memanfaatkan. Seperti dengan berkomunikasi terkadang “mendengar lebih sulit daripada berbicara” seringkali benar.

Dengarkan dulu baru berbicara supaya nyambung, jika banyak bicara tapi tidak mau mendengarkan berarti pepesan kosong juga bukan? Baiklah harus berimbang demi mental yang lebih baik, membiasakan diri untuk banyak membaca sebelum menulis. Kebiasaan lama, selamat datang kembali.

NB : Buku berjudul “Ayah” karangan Andrea Hirata yang saya pinjam dari isteri dan mulai baca sebelum makan siang benar-benar membuat saya merasa trenyuh, emosi, ngakak, dan sedikit terbawa romansa. Tidak terasa sore telah selesai satu buku.